Arsip Kategori: Kumpulan Makalah Agama

Susila dalam agama hindu


BAB 5

 

  1. A.  Pendahuluan

Ajaran agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat komprehensif, dalam arti tidak saja mengurusi/mengajarkan bagaimana memuja Ida Sang Hyang Widhi, tetapi juga berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Inti ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang disebut Tri Kerangka agama Hindu. Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri dari tattwa (filsafat), susila (etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya dan satu dengan yang lain saling isi-mengisi. Jika diibaratkan seperti sebutir telur, upacara adalah kulit telur, susila adalah putih telur, dan tattwa adalah kuning telur. Bila salah satu bagian ini tidak ada atau rusak maka telur tersebut akan rusak. Begitu juga pengetahuan/tatwa yang tinggi jika tidak diimbangi oleh etika yang memadai maka hidup ini tidak akan harmonis.

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dalam hidup bersama ini diperlukan adanya suatu peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku yang baik disebut tata susila.

Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta yang teridi dari kata “Su” artinya baik. Dan “Sila” artinya tingkah laku. Jadi susila adalah tingkah laku yang baik. Di dalam kitab Wraspati tattwa, 26 dinyatakan mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila ngaranya angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.

Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat bangunan jika landasan atau pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut akan mudah roboh. Jika tata susila sudah dibangun atas dasar agama sebagai landasannya yang kokoh dan kekal, maka tata susila itu akan mendalam dan meresap dalam pribadi seseorang. Ajaran tata susila yang berdasarkan ajaran agama, seperti tertera dalam kitab-kitab Upanisad atau Tattwa, menyatakan suatu dalil yang mengakui tunggalnya Jiwatman (roh) semua makhul dengan Tuhan (Paramatma). Dengan adanya ini maka kita akan merasakan suatu renungan kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita sebenarnya adalah satu dan sama dengan makhluk lainnya.

Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal dan berada di mana-mana yang menjadi dasar hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah dan beraneka ragam macamnya. Begitulah Jiwatman dalam semua makhluk terpisah satu dengan yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang pada dasarnya dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula tunggalnya antara Jiwatman seseorang dengan Jiwatman orang lain.

Jadi prinsip dasar dari susila Hindu adalah adanya satu Atman yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran murni. Bila kamu merugikan tetanggamu sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan makhluk hidup lainnya, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap alam tiada lain adalah dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang merupakan dasar kebenaran methapisik yang mendasari segala kode etik Hindu. Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar dalam semua makhluk.

Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk hanyalah manusia. Karena di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir sebagai manusia untuk berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke dunia bisa tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160 disebutkan sebagai berikut :

“Silam pradhanam puruse tadyaseha pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila ktikang pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika kabeh, yan tan hana silayukti”.

Artinya :

Susila itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada kesusilaan.

Ajaran susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma. Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebijakan agar tidak jatuh ke neraca. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya.

Tata susila membina watak manusia agar menjadi anggota keluarga yang baik, anggota masyarakat yang baik, anggota/putra bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkeperibadian mulia sehingga mencapai kebahagiaan abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya dapat dinikmati bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi, karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan istilah anandha, suka tanpa wali duka.

Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi manusia menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
  2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.

Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :

“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam”.

Artinya :

Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.

“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.

Artinya :

Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan, ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.

“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.

Artinya :

Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.

Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :

“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.

(Bhawadgita, XVI.4)

Artinya :

Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.

“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”

(Bhawadgita, XVI.17)

Artinya :

Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.

“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”

(Bhawadgita, XVI.21)

Artinya :

Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.

Oleh karena itu, setiap perbuatan baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan Prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah terscantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya. Ajaran susila ini hendaknya diusahakan oleh setiap manusia.

Demikian harus kita sadari, betapa pentingnya ajaran tata susila itu kita terapkan. Tata susila pada dasarnya bertujuan untuk membina hubungan yang selaras / rukun antara seseorang (Jiwatman) dengan mahluk lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad dan Asuri sampad pada diri manusia disebabkan oleh beberapa faktor, bisa faktor intern, bisa dari faktor extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut. Berkaitan dengan keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan  kita untuk selalu menumbuh kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.

 

  1. B.   Tri Guna
  2. 1.    Pengertian

Triguna ini merupakan tiga macam elemen atau nilai-nilai  yang ada hubungannya dengan karakter dari mahluk hidup khususnya manusia. Tri Guna adalah tiga macam sifat manusia yang mempengaruhi kehidupan manusia. Triguna ini terdapat pada setiap orang hanya saja ukurannya berbeda-beda. Tri Guna adalah bagian dari Prakerti dan apabila prakerti bertemu dengan Purusa maka Tri Guna akan mulai beraktivitas dan ketiga dari unsur-unsur Tri Guna tersebut berkeinginan saling menguasai satu dengan yang lainnya.

Manusia di dalam bertingkah laku sangat dipengaruhi oleh tiga sufat yang disebut Tri Guna, yang terdiri dari :

  1. a.       Satwam/satwa adalah sifat tenang
  2. Rajas/rajah adalah sifat dinamis
  3. Tamas/tamah adalah sifat lambah

Dalam kitab Wrhaspati tatwa sloka 15 dijelaskan sebagai berikut :

“Lagha prakasakam sattwam cuncalam tu rajah dthiyam

Tamo guru waranakam ityetaccinta laksanan,

Ikang citta mahangan mawa, yela sattwa ngarannnya

Ikang madrss malah, yeka rajah ngarananya, ikang abwat peteng, yeka tamah ngaranya.”
Artinya :

Pikiran yang ringan dan terang, itu sattwam namanya, yang bergerak cepar, itu rajah namanya, yang berat serta gelap, itulah tamah namanya.

Tri Guna merupakan tiga macam elemen/nilai-nilai yang ada pada setiap manusia yang dibawa sejak lahir. Tri Guna merupakan bagian dari Prakerti / Pradhana yang baru akan aktif bila Prakerti sudah bertemu dengan Pradhana. Dan setelah aktif masing-masing dari bagian Tri Guna tersebut akan bersaing menguasai satu dengan yang lainnya

  1. 2.    Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia

Tri Guna ini merupakan tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga dapat  kita lihat di dunia ini ada bermacam-macam. Kecenderungan sifat manusia. Ada orang yang berpenampilan lemah lembut selalu  ramah, dan menyenangkan bagi yang melihat. Namun ada juga orang yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya. Selain hal tersebut di atas tidak jarang juga kita melihat ada orang yang penampilannya awut-awuran, tidak terururs serta pemalas. Semua penampilan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari bagian-bagian Tri Guna yang tidak seimbang.

Beberapa sloka dalam kitab suci yang memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap kepribadian manusia adalah sebagai berikut :

“Yan satwawika ikang citta, ya hetuning atma pamunggihaken kamoksan, apan ya nirmala, dumeh ya gumawayaken rasaning agama lawan wekas ning guru

(Wrghaspati tattwa, 20)

Artinya :

Apabila sattwa citta itu, Itulah Atma menemukan kamoksaan, atau kelepasan oleh karena itu ia suci, menyebabkan ia melaksanakan ajaran agama dan petuah guru.

Yapwan pada gong nikang sattwa lawan rajah, yeka matangnyan mahyun mugawaya dhama denya, kedadi pwakang dharma denyu kalih, ya ta matangnyun mudih ring swarga, apan ikang sattwa mahyun ing gawe hayu, ikang rajah manglakwaken”

(Wgraspati tatwa, 20)

Artinya :

Apabila sama besarnya anatara sattwam dan rajah, itulah menyebabkan ingin mengamalkan dharma olehnya, berhasilah dharma itu olehnya berdua, itulah menyebabkan  pulang ke sorga, sebab sattwam ingin berbauat baik, si rajah itu yang melaksanakan.

Yan pada gingnta katelum ikang sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma manusia, apaan pada wineh kahyunya”

(Wraspati tatwa, 22)

Artinya :

Apabila sama besarnya ketiga Guna, Sattwan, Rajah, dan Tamah itu, itulah yang menyebabkan penjelmaan manusia karena sama memberikan kehendaknya / keinginannya.

“Yapwan citta si rajah magong, kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma tibeng naraka”

(Wrhspati tattwa, 23)

Artinya :

Apabila citta si rajah besar, hanya marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang menyebabkan jatuh ke neraca.

Berdasarkan sloka tersebut di atas maka jelaskah yang menyebabkan adanya perbedaan kelahiranitu adalah Tri Guna (sattwam, rajah, dan tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma muncul suka duka.

Demikianlah penjelasan beberapa sloka kita Wrhaspati tattwa, yang pada dasarnya menyatakan bahwa Tri Guna ada pada setiap prnag hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana, berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga merupakan sifat sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi seseorang maka orang tersebut menjadi tangkas, keras, rajin dan penuh usaha. Sifat congkak dan iri, bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun bila guna tamaha lebih banyak berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamba, malas dan bodoh. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu juga termasuk sifat-sifat tamah. Di dunia ini tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga Guna tersebut merupakan satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Dan pengaruh Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang digolongkan sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Tri Guna pada hakekatnya merupakan bagian dari prakerti/predhana, sebagai asas kebedaan. Bila Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna mulai aktif dan ingin saling menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan tamah, maka Atma mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama kuatnya, maka Atma mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari sattwam, Rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari Sattwam dan Tamah, menyebabkan Atma jatuh ke alam neraca . Apabila sifat tamah yang lebih unggul dari Sattwam dan rajah , maka Atma menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Dari penjelasan tersebut, kita mempunyai pengetahuan bahwa Tri Guna sangat berpengagruh terhadap baik-buruknyakehdiupan manusia. Manusia hendaknya  mampu mengendalikan Tri Guna ini dengan baik, menggunakan sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri Guna akan memebirkan manfaat pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah ke arah Sattwam, karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana menyebabkan Atma mengalami kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh hal yang kita hindari.

  1. C.  Dasa Mala

Dalam Kitab Bhagawadgita telah disebutkan bahwa pada dasarnya kecederungan budhi manusia ada dua jenis yaitu Daiwa Sampad dan Asuri Sampad. Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat tidak baik (Asubha  Karma). Banyal perilaku yang tidak baik yang perlu kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu perbuatan-perbuatan yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam diri manusia. Ada beberapa kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti : Tri Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala adalah sepuluh macam sifat-sifat yang kotor/tidak baik, yang perlu kita hindari karena tergolong Asubha Karma.

Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan dengan susila hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun pembagian dari Dasa Mala tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan sikap malas adalah sikap yang dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena sikap ini merupakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke dunia ini adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini tidak mau melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak akan bisa mencapai Kesempurnaan hidup.  Hilangkan sifat bermalas-malas karena tidak ada tujuan yang dapat dicnapai dengan hanya berdiam diri, bahkan sifat malas akan makin menjauhkan Atma dengan Paramatma. Oleh karena itu hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas dan kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
  2. Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau memahami maskud orang lain.

Sifat putus asa, suka menunda-nunda suatu pekerjaan tergolong sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. Orang yang dalam kehidupannaya lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat tamas akan menyebabkan Atma jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih unggul dari sattwam dari rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk maju/untuk mencapai Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya. Jangan  cepat terputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka menunda-nuda waktu untuk melakukan tugas dna kewajiban karena hidup kita hanya sebentar.

  1. Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan. Pikrian paling menentukan kualitas perilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak baik maka indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. Oleh karena itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda dan menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lmain. Upayakan untuk menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Ada tiga cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :
    1. Si tan engin adengkya ri drbyaning len, artinya tidak menginginkan milik orang lain.
    2. Si tan krodha ring sarwa sattwa, artinya tidak membenci semua mahluk.
    3. Si mamituha ring haning karmaphala, artinya orang yang amat yakin pada kebenaran hukum karmaphala.
  2. Kitula artinya menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru

Menyakiti dan membunuh mahluk lain, lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua. Di dalam pergaulan ini akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita ubah himsa karma menjadi ahimsa karma. Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang menyebabkan mahluk lain menderita, agar kehidupan kita menjadi tenang, tentram dan bahagia.

  1. Kubaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan keras kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada badan kita sehingga kita akan menjadi sakot. Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebala tubuh sehingga dapat mencegah penyakit. Kita harus mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai.
  2. Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri orang lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti orang lain bahkan bisa menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh sebab itu martilah kendalikan kata-kata kita agar terdengar manis dan mengejutkan, lemah-lembut, ospan, sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri (Wasita nimittanta manemu laksmi. Ada empat macam pengendalian kata-kata yaitu :
  3. Tidak suka mencaci maki
  4. Tidak berkata kasar pada orang lain
  5. Tidak memfitnah
  6. Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
  1. Megara artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih

Perbuatan jahat tergolong asubha karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan rohani.

Ada tiga macam  pengendalian perbuatan agar tercapai tujuan keharmonisan, yaitu :

  1. Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
  2. Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda orang lain (tidak mencari)
  3. Tidak berzina
    1. Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa

Ragasti merupakan sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat seperti itu sifat-sifat asuri sempat/sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat suka memperkosa harus dihindari untuk menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral. Jika ragastri dibiarkan maka akan menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan sifat-sifat itu kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan menghindarinya, serta mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bisa menuntut jiwa bersatu dengan Ida snag Hyang Widhi Wasa.

  1. Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berpoya-poya.

Berpoya-poya berarti mempergunakan harta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa kekayaan yang berlimpah jika penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita penghibur dan sebagainya, selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup sederhana akan bisa juga meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baik lahir maupun batin.

10. Kimharu artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan irihari. Sifat dengki dari iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (Asubha Karma). Sifat Ini patut dihilangkan dari diri seseorang itu. Bahkan saking kuatnya sifat dengki dan iri hati bercokol pada diri seseorang, diperlukan upaya yang kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena itu dia katakana sebagai salah satu musuh dalam diri manusia out. Ingat Sadi Ripu (musuh yang enam jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut dikalahkan yaitu, Kama, Loba Krodha, Mada, moha dan Matsarya). Matsarya adakah sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat kurang simpatik tetapi juga kurang baik. Bisa juga tidak etis. Sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat yang kotor dari sepuluh macam sifat kotor (Dasa Mala) lainnya yang perlu kita kendalikan agar tercapai kesucian diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Demikianlah sepuluh yang menyebabkan manusia tersesat dan jatuh ke neraka. Sadarilah hal tersebut dan dihindari Dasa Mala itu sehingga tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham jagadhita yang ca iti dharma dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan berbuat baik, kurnagi keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa kasih sayang kepada sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.

Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa Mala tumbuh dengan suburnya di hati manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam masyarakat begitu banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan terjadi akibat dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap benda-benda  duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari merugikan orang lain. Orang banyak  mencari popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai  tujuan, seperti kasus pengeboman di beberapa daerah di Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga dapat melakukan perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa penyesalan atas peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa. Belum genap setahun tragedy bom bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota Jakatta dengan terjadi bom di Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5 Agustus 2003. Ini menunjukkan bahwa orang seperti itu sudah diliputi  oleh Dasa Mala terutama Leja (pikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan).

Di era reformasi ini, orang mulai bebas berbicara, sering berkata sembarangan, saling mencari maki, memfitnah yang dapat menimbulkan akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya orang lain. Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya sepahit empedu. Apa yang dikatakan bohong belaka. Kata manis yang diucapkan  hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Akibat dari keterikatan diri terhadap benda-benda duniawi, banyak orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri ,seperti melakukan penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan tersebut tidak jarang dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, membeli narkotik, dan kemudian melakukan pemerkosaan.

Pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi, orang tidak lagi menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi hormat kepada guru, dan banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Pelecehan seksual sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya sendiri. Berita di televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat tindak criminal, seperti perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang terlibat perdagangan narkotik yang sulit diselesaikan seperti patah satu tumbuh seribu. Pembunuhan terjadi dimana-mana, sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa. HAM sudah tidak dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun, dan tata karma. Di zaman kali yuga ini artha di agung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat pertama dan merupakan segala-galanya, seperti disebutkan did alam kitab Nitisastra IV.7 sebagai berikut :

Singih yan tekaning yuganta kali tanhana lewuha sakeng mahadhana, tan walanguna curu pandita widagha pada mangayap ing dhacewara, sakwehning inasya san wiku hilang, kulu ratu pada hna kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita”

Artinya :

Sesungguhnya bila zaman kali datang pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh, orang yang pandai akan mengabdi kepada orang yang kaya. Semua pelajaran Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan kepandaian.

 

implementasi wawasan nusantara makalah


Implementasi Wawasan Nusantara

Pendahulauan

Implementasi atau penerapan wawasan nusantara harus tercermin pada pola pikir, pola sikap, dan pola tindak yang senantiasa mendahulukan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan kata lain, wawasan nusantara menjadi pola yang mendasari cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam rangka menghadapi berbagai masalah menyangkut kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara. Implementasi wawasan nusantara senantiasa berorientasi pada kepentingan rakyat dan wilayah tanah air secara utuh dan menyeluruh sebagai berikut:

1.Wawasan  Nusantara Sebagai Falsafah pancasila

Falsafah Pancasila diyakini sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang sesuai dengan aspirasinya. Keyakinan ini dibuktikan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak awal proses pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai sekarang. Dengan demikian wawasan nusantara menjadi pedoman bagi upaya mewujudkan kesatuan aspek kehidupan nasional untuk menjamin kesatuan, persatuan dan keutuhan bangsa, serta upaya untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.

Nilai-nilai pancasila mendasari pengembangan wawasan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah:

  1. Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti memberi kesempatan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing- masing.
  2. Mengutamakan kepentingan masyarakat daripada individu dan golongan.
  3. Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Aspek kewilayahan nusantara

Pengaruh geografi merupakan suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena Indonesia kaya akan aneka Sumber Daya Alam (SDA) dan suku bangsa.

Aspek sosial budaya

Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda – beda, sehingga tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan mengandung potensi konflik yang besar.mengenai berbagai macam ragam budaya.

Aspek sejarah

Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menghendaki terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia.Hal ini dikarenakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil dari semangat persatuan dan kesatuan yang sangat tinggi bangsa Indonesia sendiri.Jadi, semangat ini harus tetap dipertahankan untuk persatuan bangsa dan menjaga wilayah kesatuan Indonesia.

Fungsi

Gambaran dari isi Deklarasi Juanda

  1. Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.
  2. Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan.
  3. Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.
  4. Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Batasan dan tantangan negara Republik Indonesia adalah:
  5. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik – titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.
  6. Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.
  7. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

Tujuan

Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:

  1. Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
  2. Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

Implementasi

Kehidupan politik

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan wawasan nusantara, yaitu:

  1. Pelaksanaan kehidupan politik yang diatur dalam undang-undang, seperti UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan undang-undang tersebut harus sesuai hukum dan mementingkan persatuan bangsa.Contohnya seperti dalam pemilihan presiden, anggota DPR, dan kepala daerah harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
  2. Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai denga hukum yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa pengecualian. Di Indonesia terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan oleh provinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional.
  3. Mengembagkan sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk mempersatukan berbagai suku, agama, dan bahasa yamg berbeda, sehingga menumbuhkan sikap toleransi.
  4. Memperkuat komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan untuk menigkatkan semangat kebangsaan dan kesatuan.
  5. Meningkatkan peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat korps diplomatik sebagai upaya penjagaan wilayah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dan pulau kosong.
  6. Wilayah nusantara mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, seperti posisi khatulistiwa, wilayah laut yang luas, hutan tropis yang besar, hasil tambang dan minyak yang besar, serta memeliki penduduk dalam jumlah cukup besar. Oleh karena itu, implementasi dalam kehidupan ekonomi harus berorientasi pada sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian.
  7. Pembangunan ekonomi harus memperhatikan keadilan dan keseimbangan antardaerah. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan upaya dalam keadilan ekonomi.
  8. Pembangunan ekonomi harus melibatkan partisipasi rakyat, seperti dengan memberikan fasilitas kredit mikro dalam pengembangan usaha kecil.

Kehidupan ekonomi

Kehidupan sosial

Tari pendet dari Bali merupakan budaya Indonesia yang harus dilestarikan sebagai implementasi dalam kehidupan sosial.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan sosial, yaitu :

  1. Mengembangkan kehidupan bangsa yang serasi antara masyarakat yang berbeda, dari segi budaya, status sosial, maupun daerah. Contohnya dengan pemerataan pendidikan di semua daerah dan program wajib belajar harus diprioritaskan bagi daerah tertinggal.
  2. Pengembangan budaya Indonesia, untuk melestarikan kekayaan Indonesia, serta dapat dijadikan kegiatan pariwisata yang memberikan sumber pendapatan nasional maupun daerah. Contohnya dengan pelestarian budaya, pengembangan museum, dan cagar budaya.

2.Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional

 

a. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik
Bangsa Indonesia bersama bangsa-bangsa lain ikut menciptakan ketertiban dunia dan perdamaian abadi melalui politik luar negeri yang bebas aktif. Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan politik akan menciptakan iklim penyelenggaraan negara yang sehat dan dinamis. Hal tersebut tampak dalam wujud pemerintahan yang kuat aspiratif dan terpercaya yang dibangun sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.

b. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan ekonomi akan menciptakan tatanan ekonomi yang benar-benar menjamin pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Di samping itu, implementasi wawasan nusantara mencerminkan tanggung jawab pengelolaa sumber daya alam yang memperhatikan kebutuhan masyarakat antar daerah secara timbal balik serta kelestarian sumber daya alam itu sendiri.

1) Kekayaan di wilayah nusantara, baik potensial maupun efektif, adalah modal dan milik bersama bangsa untuk memenuhi kebutuhan di seluruh wilayah Indonesia secara merata.

2) Tingkat perkembangan ekonomi harus seimbang dan serasi di seluruh daerah tanpa mengabaikan ciri khas yang memiliki daerah masing-masing.

3) Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah nusantara diselenggarakan sebagai usaha bersama dengan asas kekeluargaan dalam sistem ekonomi kerakyatan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

c. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya
Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan sosial budaya akan menciptakan sikap batiniah dan lahiriah yang mengakui segala bentuk perbedaan sebagai kenyataan hidup sekaligus karunia Tuhan. Implementasi ini juga akan menciptakan kehidupan masyarakat dan bangsa yang rukun dan bersatu tanpa membedakan suku, asal usul daerah, agama, atau kepercayaan,serta golongan berdasarkan status sosialnya. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu kesatuan dengan corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa. Budaya Indonesia tidak menolak nilai-nilai budaya asing asalkan tidak bertentangan dengan nilai budaya bangsa sendiri dan hasilnya dapat dinikmati.

d. Perwujudan Kepulauan Nusantara Sebagai Satu Kesatuan Pertahanan dan keamanan Implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan pertahanan dan keamanan akan menumbuhkan kesadaran cinta tanah air dan bangsa, yang lebih lanjut akan membentuk sikap bela negara pada tiap warga negara Indonesia. Kesadaran dan sikap cinta tanah air dan bangsa serta bela negara ini menjadi modal utama yang akan mengerakkan partisipasi setiap warga negara indonesia dalam menghadapi setiap bentuk ancaman antara lain:

1) Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya adalah ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara.

2) Tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk ikut serta dalam pertahanan dan keamanan Negara dalam rangka pembelaan negara dan bangsa.

3.Hubungan Antara Wawasan Nusantara dengan Ketahanan Nasional

Wilayah Indonesia yang sebagian besar adalah wilayah perairan mempunyai banyak celah kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh negara lain yang pada akhirnya dapat meruntuhkan bahkan dapat menyebabkan disintegrasi bangsa Indonesia. Indonesia yang memiliki kurang lebih 13.670 pulau memerlukan pengawasan yang cukup ketat. Dimana pengawasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh pihak TNI/Polri saja tetapi semua lapisan masyarakat Indonesia. Dengan adannya wawasan nusantara kita dapat mempererat rasa persatuan di antara penduduk Indonesia yang saling berbhineka tunggal ika. Wawasan nasional bangsa Indonesia adalah wawasan nusantara yang merupakan pedoman bagi proses pembangunan nasional menuju tujuan nasional. Sedangkan ketahanan nasional merupakan kondisi yang harus diwujudkan agar proses pencapaian tujuan nasional tersebut dapat berjalan dengan sukses. Oleh karena itu, diperlukan suatu konsepsi ketahanan nasional yang sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. Dengan adanya wawasan nusantara, kita harus dapat memiliki sikap dan perilaku yang sesuai kejuangan, cinta tanah air serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.

 Ketahanan Nasional

Ketahanan Nasional (Tannas) adalah konsep bangsa Indonesia, Keselamatan Nasional (National Security) atau kelangsungan hidup bangsa (national survival). National security yang sering kita tejemahkan dengan keamanan nasional, lebih fokus pada kekuatan militer daripada kekuatan lain yang ada dalam kehidupan suatu bangsa. Tannas yang juga disebut sebagai comprehensive security, berpendapat bahwa kelangsungan hidup suatu bangsa atau masyarakat tergantung pada keserasian aspek kehidupan seperti Ideologi-Politik-Ekonomi-Sosial Budaya-Militer, dimana tiap aspek saling mempengaruhi. Tannas lahir di Seskoad (Sekolah Staf & Komanda Angkatan Darat) pada tahun 1969-1970, yang pada saat itu berusaha mengembangkan doktrin sendiri tentang national security, berdasarkan pengalaman sendiri dan bangsa lain.

Salah satu Tannas :

Membagun TNI Profesional merupakan implementasi dalam kehidupan pertahanan keamanan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan pertahanan dan keamanan, yaitu :

  1. Kegiatan pembangunan pertahanan dan keamanan harus memberikan kesempatan kepada setiap warga negara untuk berperan aktif, karena kegiatan tersebut merupakan kewajiban setiap warga negara, seperti memelihara lingkungan tempat tinggal, meningkatkan kemampuan disiplin, melaporkan hal-hal yang menganggu keamanan kepada aparat dan belajar kemiliteran.
  2. Membangun rasa persatuan, sehingga ancaman suatu daerah atau pulau juga menjadi ancaman bagi daerah lain. Rasa persatuan ini dapat diciptakan dengan membangun solidaritas dan hubungan erat antara warga negara yang berbeda daerah dengan kekuatan keamanan.
  3. Membangun TNI yang profesional serta menyediakan sarana dan prasarana yang memadai bagi kegiatan pengamanan wilayah Indonesia, terutama pulau dan wilayah terluar Indonesia.
  4. ^ a b Suradinata,Ermaya. (2005). Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka Keutuhan NKRI.. Jakarta: Suara Bebas. Hal 12-14.
  5. ^ a b c d e f Sunardi, R.M. (2004). Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta:Kuaternita Adidarma. ISBN 979-98241-0-9,9789799824103.Hal 179-180.
  6. ^ a b c d Alfandi, Widoyo. (2002). Reformasi Indonesia: Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik. Yogyakarta:Gadjah Mada University. ISBN 979-420-516-8, 9789794205167.
  7. ^ Hidayat, I. Mardiyono, Hidayat I.(1983). Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya Alam. Surabaya:Usaha Nasional.Hal 85-86.
  8. ^ a b c Sumarsono, S, et.al. (2001). Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 12-17.

Referensi

Makalah Tentang Hari raya kuningan dan galungan


TUGAS MANAGEMEN PENDIDIKAN

HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

Image

DAFTAR ISI

Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………………………………   i

Kata Pengantar………………………………………………………………………………………………………………   ii

BAB I. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang…………………………………………………………………………………………………………    1

1.2  Tujuan………………………………………………………………………………………………………………………   8

1.2.1        Tujuan Umum………………………………………………………………………………………………………  8

1.2.2        Tujuan khusus……………………………………………………………………………………………………….10

1.3  Manfaat……………………………………………………………………………………………………………………. 11

1.3.1        Maanfaat teori……………………………………………………………………………………………………  11

1.3.2        Maanfaat praktis………………………………………………………………………………………………..  11

1.4 Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………………..   11

BAB II. PEMBAHASAN

2.1          Sejarah dan Makna Hari Raya Galungan………………………………………………………………   12

2.1.1        Sejarah Hari Raya Galungan………………………………………………………………………………    12

2.1.2        Makna Hari Raya Galungan dan Makna Filosofi Galungan …………………………………   13

2.1.2.1              Makna Hari Raya Galungan…………………………………………………………………………… 13

2.1.2.2              Makna Filosofi Galungan ……………………………………………………………………………… 14

2.2 Galungan dan Cerita Maydenawa……………………………………………………………………………   16

2.3 Rangkaian Upacara dan Makna Filosofis Hari Raya Galungan dan Kuningan ……………. 17

BAB III. PENUTUP

Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………………………. 22

Daftar Pustaka

 

 

 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas ini masih banyak kekurangan, baik dari segi isi, penulisan maupun kata-kata yang digunakan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan paper ini lebih lanjut, akan penulis terima dengan senang hati. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasihkepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tugas ini. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, meskipun dalam penyusunan makalah ini penulis telah mencurahkan semua kemampuan, namun penulis sangat menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini jauh dari sempurna dikarenakan keterbatasan data dan referensi maupun kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik yang membangun dari berbagai pihak.

Denpasar, 30 Maret 2012

Penulis

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba ó entah apa dasar pertimbangannya ó pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya ó artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan. Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jÒana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.” Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaitu hidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga). Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.

Macam-macam Galungan

Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Galungan

Galungan adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

Galungan Nadi

Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.

Galungan Nara Mangsa

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut: “Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran.”

Artinya:

Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:

Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.

Artinya:

Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara agama.

Galungan di India

Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.

Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.

Perayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

1.2            Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI)memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.

Dalam lontar itu disebutkan:

“Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya”,

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu
Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu
terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga
belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama
Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para
pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih
selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu.

Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih.

Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Disamping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.

Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

1.2.2    Tujuan khusus

Hari Raya Galungan adalah hari kemenangan dharma melawan adharma. Di setiap agama ada hari-hari kemenangan seperti ini. Dan khusus di Hindu, hari kemenangan bisa ditentukan sendiri oleh budaya lokal di mana Hindu itu masuk. Karena itu, hari kemenangan umat Hindu yang budaya lokalnya Bali, tak persis sama dengan yang bukan budaya lokalnya Bali. Di India, kemenangan dharma itu dirayakan dengan nama Hari Raya Wijaya Dasami. Rangkaian upacara pun selama 10 hari, seperti halnya Galungan menuju Kuningan yang juga berangkai 10 hari.

Di hari Galungan itu, umat Hindu harus mampu menghadirkan kekuatan spritual agar bisa dan mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana yang berupa kebenaran (dharma). Juga dapat membedakan sifat-sifat keraksasaan (asura sampad) dan sifat-sifat kedewaan (dewa sampad). Lontar Sunarigama menulis:

Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan, patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.

Artinya: Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi inti perayaan ini adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang-seterangnya. Bersatunya pikiran yang terang inilah wujud dari dharma itu sendiri, sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah penjelmaan dari adharma. Dan setelah pikiran terang itu muncul, umat Hindu saling mendatangi tetangga, kerabat, kenalan untuk menjalin apa yang kini dikenal secara umum sebagai silaturahmi. Itu dilakukan keesokan harinya, saat Manis Galungan, karena di hari Galungan itu sendiri umumnya disita oleh mengadakan persembahan kepada leluhur di berbagai Pura yang ada.

Sekarang, adakah tali silaturahmi itu terus dilakukan? Tentu masih ada, khususnya di kalangan umat yang sama, Hindu. Bagaimana dengan jalinan ke luar umat? Kalau pun masih dilakukan, saya menduga kadarnya itu mulai berkurang. Ibu saya telah tiada, tak ada keluarga di kampung saya yang mewariskan kebiasaan “ngejot” ke “nyama selam” itu. Keluarga penjual sate dari Madura itu pun telah pindah, tetapi “nyama selam” bukan berarti tak ada. Mereka ada yang berjualan bakso, bubur kacang hijau, makelar kopi, dan sebagainya. Hubungan mereka dengan masyarakat Hindu setempat tak lebih dari hubungan bisnis. Tak ada hari raya keagamaan yang bisa lagi dirasakan secara bersama-sama. Galungan adalah milik Hindu, Lebaran adalah milik Islam, Natal adalah milik umat Kristiani. Masing-masing berjalan dalam sekat-sekatnya tersendiri.

1.3        Manfaat

1.3.1 Maanfaat teori

Perayaan Galungan bagi umat Hindudi Bali sudah sangat memasyarakat dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksman Galungan,Susila dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks pustaka Sundarigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan idial dinyatkan dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan setiap enam bulan wuku (210 hari).

1.3.2    Maanfaat praktis

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail.

1.4        Rumusan Masalah

 

  • Bagaimana sejarah dirayakannya Hari Raya Galungan?
  • Apa makna dari Hari Raya Galungan?
  • Rangkaian Upacara apa saja yang mengikuti dalam Perayaan Galungan dan Kuningan?

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1SEJARAH DAN MAKNA HARI RAYA GALUNGAN

 

2.1.1 Sejarah Hari Raya Galungan

Sehubungan dengan jatuhnya Hari Raya Galungan pada hari ini di Bali, maka saya akan membahas sedikit sejarah mengenai Hari Raya Galungan. Semoga dengan ini mereka yang merayakan semakin mendalami makna yang sebenarnya dari Hari Raya Galungan.

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis. Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya :

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya — artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan, karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.

Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

2.1.2    Makna Hari Raya Galungan dan Makna Filosofi Hari Raya Galungan

  1. A.     Makna Hari Raya Galungan

Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali. Kata Galungan dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata ‘Dungulan’ yang artinya menang atau unggul yang maknanya adalah mendapatkan kemenangan yang benar dalam hidup ini merupakan sesuatu yang seharusnya kita perjuangkan. Pada hakekatnya Galungan adalah perayaan bagi kemenangan “Dharma” (kebenaran) melawan “Adharma”(Kebatilan). Selain itu, Galungan pada hakikatnya untuk mensinergikan kekuatan suci yang ada dalam diri setiap manusia untuk membangun jiwa yang terang untuk menghapuskan kekuatan gelap (adharma) dalam diri.

Tuhan sebagai pencipta dipuji dan di puja, termasuk leluhur dan nenek moyang keluarga diundang turun ke dunia untuk sementara kembali berada di tengah–tengah anggota keluarga yang masih hidup. Sesajen menyambut kedatangan leluhur itu disajikan pada di sebuah Merajan/sanggah keluarga. Penjor selamat datang dibuat dari bambu melengkung, dihiasi janur dan bunga dan diisi sanggah di bagian bawahnya serta hiasan lamak di pancang di depan pintu masuk rumah masing-masing.

Sebelum puncak perayaan Galungan ada rangkaian yang disebut sugian, embang sugian, penyajaan, dan penampahan. Sugian terdiri dari tiga kali, yaitu Budha Pon wuku Sungsang yang sering disebut Sugian Tenten. Sugian itu penyucian awal. Tenten artinya sadar atau kesadaran. Galungan hendaknya dirayakan dengan kesadaran rohani. Mengikuti tradisi hendaknya dengan kesadaran, orang yang sadar adalah orang yang bisa membeda-bedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang patut dan mana yang tidak patut. Wrehaspati Wage wuku Sungsang adalah Sugian Jawa, maknanya perayaan ini untuk menyucikan bhuwana agung/alam semesta. Bhuana agung menyucikan alam lingkungan hidup kita ini. Sedangkan Sugian Bali pada Sukra Kliwon Sungsang yang bermakna sebagai media untuk menyucikan diri pribadi. Embang Sugian pada Redite Paing Wuku Dungulan yaitu untuk mengheningkan kesadaran diri sampai suci (nirmala). Esoknya pada hari penyajahan dinyatakan untuk memohon air suci sebagai permohonan restu pada Tuhan. Pada Anggara Wage wuku Dungulan disebut penampahan yang maknanya dalam hal ini adalah ”menyembelih” sifat-sifat kebinatangan yang bersembunyi dalam diri kita, seperti sifat Rajah dan Tamah. Setelah dilakukan tahapan-tahapan tersebut barulah mencapai puncak Hari Raya Galungan. Perayaan ini biasanya diakukan persembahyangan di pagi hari dan setelah itu semua orang keluar ke jalan dengan berpakaian baru yang indah, mengunjungi sanak saudara dan handai tolan, sambil menikmati kebesaran hari raya tersebut dan bersyukur atas segala berkah dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan yang Maha Esa.

 

  1. B.    MAKNA FILOSOFI GALUNGAN

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut: Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep

 

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata “Jawa” di sini sama dengan “Jaba”, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing- masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata “bali” dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan “nirmalakena” (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga samadhi.” Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut “pamyakala lara melaradan”. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa “kadirghayusaan” yaitu hidup dan “matirta gocara”. Upacara tersebut bermakna, umat menikmati waranugraha Dewata

2.2 GALUNGAN DAN CERITA MAYDENAWA

Bagi masyarakat Bali, Hari Galungan punya cerita sendiri. Jaman dahulu tersebutlah seorang Raja keturunan Raksasa yang sangat sakti dan berkuasa bernama Mayadanawa. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa mampu berubah wujud menjadi apa saja.Mayadenawa menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani melawan karena kesaktian Mayadenawa.Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya melakukan semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi Mayadenawa.

Dewa Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.Akhirnya pasukan Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang. Namun Mayadenawa belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring.Pagi harinya, pasukan kahyangan meminum air dan keracunan. Dewa Indra tahu racun berasal dari sumber air, sehingga beliau menciptakan mata air baru yang sekarang dikenal dengan Tirta Empul. Berkat Tirta empul, semua pasukan yang keracunan bisa pulih kembali. Sungai yang terbentuk dari Tirta Empul kemudian dikenal dengan nama Tukad Pakerisan.

Dewa Indra mengejar Mayadenawa yang nelarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian, Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar). Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.Namun Dewa Indra terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa walopun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal dengan Tukad Petanu.Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun.

Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan.Pada Hari Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan.

Peringatan Hari Galungan sebenarnya sudah dimulai beberapa hari sebelum Galungan dan berakhir beberapa hari setelah Kuningan.Galungan minus 6, hari Kamis (Wrespati) Wage wuku Sungsang, disebut Sugimanek (Sugihan) Jawa, adalah hari kedatangan para Dewa ke Bumi. Pada hari ini umat melakukan upacara ditujukan kepada para Dewa dan luluhurGalungan minus 5, hari Jumat (Sukra) Keliwon Sungsang, disebut Sugimanek (Sugihan) Bali, adalah hari untuk membersihkan diri. Umumnya umat melakukan upacara di pura (matirtha yatra), berdoa dan lebih menghayati ajaran dalam Kitab Suci Weda.Galungan minus 3, hari Minggu (Redite) Pahing Dungulan adalah hari dimana umat disarankan untuk melakukan semedi untuk menenangkan diri. Pada 3 hari sejak hari Minggu akan datang 3 macam Bhuta yang akan menggoda pikiran kita yaitu Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, and Bhuta Amangkurat. Pada hari Minggu atau Senin ini, umat mulai membuat kue atau tape untuk Galungan.

Galungan minus 1, hari Selasa (Anggara) Wage Dungulan disebut Penampahan, biasanya umat melakukan pemotongan hewan untuk keperluan upacara. Juga melakukan caru/segehan di halaman rumah ditujukan kepada Sang Bhuta Galungan.Galungan, hari Rabu (Budha) Keliwon Dungulan adalah hari kemenangan atas ujian mental selama 3 hari dari Sang Bhuta Galungan sekaligus simbol kemenangan Dharma melawan Adharma. Persembahan ditujukan kepada Tuhan dan leluhur yang turun ke duniaGalungan plus 1, hari Kamis (Wrespathi) disebut Umanis Galungan, adalah hari dimana umat bisa menikmati hari kemenangan. Umumnya orang melakukan rekreasi ke tempat-tempat wisata.Galungan plus 5, hari Senen (Soma) Keliwon Kuningan, disebut Pamacekan Agung, adalah hari untuk berdoa untuk tujuan yang mulia dan kebersihan Galungan plus 10, hari Sabtu (Saniscara) Keliwon Kuningan, disebut Tumpek Kuningan, hari datangnya para Dewa dan luluhur ke dunia, namun hanya sampai pukul 12 siang. Itulah sebabnya umat melakukan upacara sebelum tengah hari berlaluGalungan plus 35, hari Rabu (Buda) Keliwon Pahang, disebut Pegat Wakan, adalah hari terakhir dari rangkaian meditasi selama 42 hari sejak Sugimanek Jawa.

2.3       Rangkaian Upacara dan Makna Filosofis Hari Raya Galungan dan Kuningan

TUMPEK WARIGA

Jatuh pada hari Saniscara, Kliwon, Wuku Wariga, atau 25 hari sebelum Galungan. Upacara ngerasakin dan ngatagin dilaksanakan untuk memuja Bhatara Sangkara, manifestasi Hyang Widhi, memohon kesuburan tanaman yang berguna bagi kehidupan manusia.

  1. A.      ANGGARA KASIH JULUNGWANGI

Hari Anggara, Kliwon, Wuku Julungwangi atau 15 hari sebelum Galungan. Upacara memberi lelabaan kepada watek Butha dengan mecaru alit di Sanggah pamerajan dan Pura, serta mengadakan pembersihan area menjelang tibanya hari Galungan.

  1. B.      BUDA PON SUNGSANG

Hari Buda, Pon, Wuku Sungsang atau 7 hari sebelum Galungan. Disebut pula sebagai hari Sugian Pengenten yaitu mulainya Nguncal Balung. Nguncal artinya melepas atau membuang, balung artinya tulang; secara filosofis berarti melepas atau membuang segala kekuatan yang bersifat negatif (adharma).Oleh karena itu disebut juga sebagai Sugian Pengenten, artinya ngentenin (mengingatkan) agar manusia selalu waspada pada godaan-godaan adharma.Pada masa nguncal balung yang berlangsung selama 42 hari (sampai Buda Kliwon Paang) adalah dewasa tidak baik untuk: membangun rumah, tempat suci, membeli ternak peliharaan, dan pawiwahan.

  1. SUGIAN JAWA

Hari Wraspati, Wage, Wuku Sungsang, atau 6 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian dan kelestarian Bhuwana Agung (alam semesta).

  1. SUGIAN BALI

Hari Sukra, Kliwon, Wuku Sungsang, atau 5 hari sebelum Galungan. Memuja Hyang Widhi di Pura, Sanggah Pamerajan dengan Banten pereresik, punjung, canang burat wangi, canang raka, memohon kesucian, dan keselamatan Bhuwana Alit (diri sendiri).

  1. PENYEKEBAN

Hari Redite, Paing, Wuku Dungulan, atau 3 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Galungan yang menggoda manusia untuk berbuat adharma. Galung dalam Bahasa Kawi artinya perang; Bhuta Galungan adalah sifat manusia yang ingin berperang atau berkelahi.Manusia agar menguatkan diri dengan memuja Bhatara Siwa agar dijauhkan dari sifat yang tidak baik itu. Secara simbolis Ibu-ibu memeram buah-buahan dan membuat tape artinya nyekeb (mengungkung/ menguatkan diri).

 

  1. PENYAJAAN

Hari Soma, Pon, Wuku Dungulan, atau 2 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Dungulan yang menggoda manusia lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Dungul dalam Bahasa Kawi artinya takluk; Bhuta Dungulan adalah sifat manusia yang ingin menaklukkan sesama atau sifat ingin menang.Manusia agar lebih menguatkan diri memuja Bhatara Siwa agar terhindar dari sifat buruk itu. Secara simbolis membuat jaja artinya nyajaang (bersungguh-sungguh membuang sifat dungul).

  1. PENAMPAHAN

Hari Anggara, Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Galungan. Turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa.Manusia agar menuntaskan melawan godaan ini dengan memuja Bhatara Siwa serta mengalahkan kekuatan Sang Bhuta Tiga (Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat).Secara simbolis memotong babi “nampah celeng” artinya “nampa” atau bersiap menerima kedatangan Sanghyang Dharma. Babi dikenal sebagai simbol tamas (malas) sehingga membunuh babi juga dapat diartikan sebagai menghilangkan sifat-sifat malas manusia.Sore hari ditancapkanlah penjor lengkap dengan sarana banten pejati yang mengandung simbol “nyujatiang kayun” dan memuja Hyang Maha Meru (bentuk bambu yang melengkung) atas anugerah-Nya berupa kekuatan dharma yang dituangkan dalam Catur Weda di mana masing-masing Weda disimbolkan dalam hiasan penjor sebagai berikut:

  1. lamak simbol Reg Weda,
  2. bakang-bakang simbol Atarwa Weda,
  3. tamiang simbol Sama Weda, dan
  4. sampian simbol Yayur Weda.

Di samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan kain putih kuning.Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.

  1. GALUNGAN

Hari Buda, Kliwon, Wuku Dungulan, merupakan perayaan kemenangan manusia melawan bentuk-bentuk adharma terutama yang ada pada dirinya sendiri. Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan memberkati umat manusia. Persembahyangan di Pura, Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas anugrah-Nya itu.

  1. MANIS GALUNGAN

Hari Wraspati, Umanis, Wuku Dungulan, 1 hari setelah Galungan, melaksanakan Dharma Santi berupa kunjungan ke keluarga dan kerabat untuk mengucapkan syukur atas kemenangan dharma dan mohon maaf atas kesalahan-kesalahan di masa lalu.Malam harinya mulai melakukan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga, mohon agar kemenangan dharma dapat dipertahankan pada diri kita seterusnya.

Pemujaan di malam hari selama sembilan malam sejak hari Manis Galungan sampai hari Penampahan Kuningan disebut sebagai persembahyangan Nawa Ratri (nawa = sembilan, ratri = malam) dimulai berturut-turut memuja Bhatara-Bhatara: Iswara, Mahesora, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Tri Purusa (Siwa-Sada Siwa-Parama Siwa).

  1. PEMARIDAN GURU

Hari Saniscara, Pon, Wuku Dungulan, 3 hari setelah Galungan merupakan hari terakhir Wuku Dungulan meneruskan persembahyangan memuja Dewata Nawa Sangga khususnya Bhatara Brahma.

  1. ULIHAN

Hari Redite, Wage, Wuku Kuningan, 4 hari setelah Galungan, Bhatara-Bhatari kembali ke Kahyangan, persembahyangan di Pura atau Sanggah Pamerajan bertujuan mengucapkan terima kasih atas wara nugraha-Nya.

  1. PEMACEKAN AGUNG

Hari Soma, Kliwon, Wuku Kuningan, 5 hari setelah Galungan. Melakukan persembahan sajen (caru) kepada para Bhuta agar tidak mengganggu manusia sehingga Trihitakarana dapat terwujud.

  1. PENAMPAHAN KUNINGAN

Hari Sukra, Wage, Wuku Kuningan, 9 hari setelah Galungan. Manusia bersiap nampa (menyongsong) hari raya Kuningan. Malam harinya persembahyangan terakhir dalam urutan Dewata Nawa Sanga, yaitu pemujaan kepada Sanghyang Tri Purusha (Sisa, Sada Siwa, Parama Siwa).

  1. KUNINGAN

Hari Saniscara, Kliwon, Wuku Kuningan, 10 hari setelah Galungan. Para Bhatara-Bhatari turun dari Kahyangan sampai tengah hari.Manusia mengucapkan terima kasih kepada Hyang Widhi atas wara nugrahanya berupa kekuatan dharma serta mohon agar kita senantiasa dihindarkan dari perbuatan-perbuatan adharma.Secara simbolis membuat sesajen dengan nasi kuning sebagai pemberitahuan (nguningang) kepada para preti sentana agar mereka mengikuti jejak leluhurnya merayakan rangkaian hari raya Galungan – Kuningan.Selain itu menggantungkan “tamiang” di Palinggih-palinggih sebagai tameng atau perisai terhadap serangan kekuatan adharma.

  1. PEGAT UWAKAN

Hari Buda, Kliwon, Wuku Paang, satu bulan atau 35 hari setelah Galungan, merupakan hari terakhir dari rangkaian Galungan. Pegat artinya berpisah, dan uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan. Berata-berata nguncal balung berakhir, dan selanjutnya roda kehidupan terlaksana sebagaimana biasa. (Sumber: Bhagawan Dwija).

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugrah Hyang Widhi dalam batas – batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa . Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia. Hemat dan sederhanalah   dalam mempergunakan biaya.Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun.

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Penjelasan Hari Raya Galungan tersurat dalam Lontar Sunarigama, di mana hari raya ini dirayakan setiap Budha Kliwon Dungulan sesuai penanggalan kalender Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Galungan dan Kuningan _ Tour de Bali – Artikel Wisata dan Galeri Foto Bali.htm

Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgen

www.alambali.wordpress.com

Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni

Makalah Tentang Susila


Susila Dalam Agama Hindu


Tugas              : Makalah

Mata Kuliah  : Susila

 

 

 

 

 


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari peran agama amat penting bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, di lembaga pendidikan formal maupun nonformal serta masyarakat.

Pendidikan Agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.

Ajaran agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan tiga kerangka dasar, di mana bagian yang satu dengan lainnya saling mengisi, dan satu kesatuan yang bulat, sehingga dapat dihayati, dan diamalkan untuk mencapai tujuan yang disebut Moksa. Tiga kerangka dasarnya, yaitu: (1) tattwa, (2) susila, dan (3) upacara. Ketiganya secara sistematik merupakan satu kesatuan yang saling memberi fungsi atas sistem agama Hindu secara keseluruhan. Dalam paper ini akan menjelaskan tentang susila.

2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Susila Dalam Agama Hindu

Susila dalam Agama Hindu merupakan kerangka dasar yg kedua . susiala adalah istilah lain dari etika dan moral . etika dan moral merupakan dua kata yang di pergunakan silih berganti untuk maksud yg sama . berdasarkan uraian di atas  dapat kita pahami bahwa etika merupakan ajaran prilaku atau perbuatan yang bersifat  sitematis tentang prilaku (karma). Apa yang di anggap sebagai perbuatan baik (subha karma / daiwi sampad ) dan perbuatan yang tidak baik ( asubha karma/Asuri sampad).pengertian susila dapat  di jelaskan sebagai berikut :

A.        Susila atau etika adalah upaya mencari kebenran . sebagai filsafat ia mencari informasi yang sedalam-dalamnya secara sitematis tentang kebenran yang bersifat absolut maupun relative .

B.        Susila atau etika adalah upaya untuk megadakan penyelidikan atau megkaji kebaikan manusia , sebagai bagaimana seharunya hidupdan bertindak di dunia ini agar hidup menjadi bermakana.

C.        Susila atau etika merupakan upaya (karma) manusia mempergunakan keterampilan fisiknya (angga/raga)dan cerdas rohani  (suksma sarira) manusia terdiri atas pikiran (manas), kecerdasan (buddhi) .dan kesadaran murni (atman) yang dapat berfungsi sebagai saranauntuk memecahkan berbagai masalah tentang bagaimana manusia hidup  dan berbbuat baik (saputra). Kitap sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut : manusah sarvabhutesu varttate vaiu saubhasuhe,asubhasue  samasvitam subhesveva vakyaret. Ri sakiwang srwa bhuta,ikingjanma wwang juga wenang gumayana kening subha –subhakarma  iking janma, kuneng  akena ring subhakarna juga ikang asubha karma phalaning dadi wwang

(sarasamuscaya, 2)

 

 

3

 Artinya :

Dari sedemikian banyaknya semua mahkluk yang hidup , yang di lahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat perbuatan yang baik –buruk itu adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik juga manfaatnya menjadi manusia .

Demikianlah manfaat hidup menjadi manusia sebagai di sebutkan dalam kitab suci Weda. manusia hendaknya selalu mengupayakan prilaku yang baik dengan sesamanya memperlakukan orang dengan baik sesungguhnaya adalah sama dengan memperlakukan diri sendiri dengan baik juga (tatwam asi)  prilaku seperti itu patut di upayakan harus di lestarikan dalam setiap tindakan kita sebagai manusia setiap induvidu hendaknya berfikir dan bersifat professional menurut guna dan karma . inilah cermin dari sosok orang yg telah mengamalkan ajaran catur warna .

2.2.Hubungan Susila Dan Sad Atatayi

Pada adasarnya setiap kelahiran manusia kea lam ini adalah baik . hal ini terbukti dengan di berikan nya berbagai macam  predikat kepada manusia . sebagai manusia sebagai mahkluk inidividu, manusia sebagai mahkluk berfikir . sebagai manusia mahkluk relegius , dan manusia sebagai mahkluk sosial  , serta masih bnyk lagi sebutan yang lainya .

Sebagai akibat dari kemampuan pikirnya , manusia dapat meninggkatkan hidup  dari kehidupan nya yang kurang baik menjadi lebih baik . meskipun demikian , bukan berarti manusia akan terleppas dari perbuatan –perbuatan  yang tidak baik .dalam hindup dan kehidupan ini manusia di hadapkan pada factor kemungkinan  untuk memilih yang kurang baik agar manusia tak terjerumus dan hanyut derita akibat dari tak terkendali kama (keinginan) untuk merugikan orang lain , maka ia harus belajar dan di ajarkan  kebijaksanaan ,tuntunan berfikir , ketetapan hati  dan sikap sikap baik (Dharma) .dengan demikian manusia akan terhindar untuk melakukan sad atatayi yang memang harus di hindari .

  1. A.    Pengertian sad atatayi

Sad berarti enam dan atatyi bererti pembunuhan jadi sad atatayi adalah berarti enam macam pembunuhan yang amat kejam/keji yang patut di hindari dan tidak boloeh

4

dilakukan terhadapp siapa pun. Keenam pembunuhan yang di maksud , yaitu pembunuhan secara sadis  . perbuatan semacam ini termasuk Himsa Karma . karena itu tergolong dosa memang betul-betul di larang oleh sastra agama .

  1. B.     Bagian – bagian sad atatayi
  2. Agenda artinya membakar
  3. Wisada artinya meracun
  4. Attharwa artinya ilmu hitam
  5. Sastraghana artinya mengamuk
  6. Drathi artinya memperkosa
  7. Raja pisuna artinya memfitnah
  1. C.    Uraian Dari Sad Atatayi
  2. Aginda, yaitu membakar milik orang lain /memusnahkan milik orang lain dan juga dapat di artikan mengadu domba oranglain shingga timbul perselisihan  yang mengakibatkan orang menjadi menderita , ini perilaku atau perbuatan yang terlarang .
  3. Wisada , yaitu meracuni /menyakiti orang lain . perbuatan meracun baik niskala maupun sekala . perbuatan ini merupakan perbuatan dosa . hal ini mengingkari hakikat hidup  dan kehidupan  dan kehidupan di dalam bermasyarakat  di dunia fana ini  bagi orang yg melakukan /melaksanakan perbuatan seperti ini  sudah di sediakan tempat , yaitu neraka oleh Sang Hyang Widhi Wasa .
  4. Atharawa, yaitu melakukan/menjalankan ilmu hitam  (black magic ) atau guna –guna . perbuatan ini merupakan perbuatan dosa  serta di jauhi orang yang suka yang terlarang .menjalankan ilmu hitam atau guna-guna hanya bersifat senang semantara  semasa hidup ini dapat membuat orang lain menjadi mendertia  dan sesungghunya pula dirinya akan mendertita pula seperti yang di deritakan orang lain .
  5. Sastraghana , yaitu mengamuk atau merampok sehingga menimbulkan kerugian  bagi orang lain . mengamuk yg di maksudkan adalah bias-bilangkan nyawa orang lain dan merampok menimbulkan penderitaan karena kerugian yang di deritanya . perbuatan semacam ini amat bertentangan  dengan sastra agama , untuk mencapai ketenangan  maupun kedamaian , maka perbuatan sastraghana amat di larang  dan berdosa besar serta terkutuk .

5

  1. Drathi  Karma, yaitu memperkosa  kehormatan wanita . perbuatan  drathi karma sangt bertentangan  dengan konsep ajaran agama hindu . di ajaran agama hindu memiliki konsep tat twam asi. Karena itu ,perbuatan  drathi karma mengingkari kemerdekaan orang lain.
  2. Raja pisuna , yaitu memfitnah atau menghasut  dan mengadu domb a seseorang dengan orang lain. Perbuatan memfitnah sangt lah keji  karena membuat orang lain mederita. mungkin orang yang memfitnah tidak tw sebab apa dirinya di perlakukan kurang baik. memfitnah hendaknya di buang dari alam pikiran kita. maka di katakana memfitnah  lebih kejam dari pembunuhan.

2.3.Susila

Susila berasal dari bahasa Sansakerta, su dan sila. Su; baik dan bagus, sedangkan sila; dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Dengan demikian, susila mengacu pada upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan masyarakat hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Demi tegaknya kebenaran dan keadilan di dunia ini manusia yang ber-Susila atau bertingkah laku yang baik sangat diharapkan. Manusia yang susila adalah penyelamat dunia (Tri Buana) dengan segala isinya. Apapun yang dilakukan oleh orang Susila tentu akan tercapai. Sebab, Sang Hyang Widhi Wasa akan selalu menyertainya. Orang-orang di sekitarnya selalu hormat dan menghargainya. Kalau saja di dunia ini tidak ada orang yang Susila maka sudah tentu dunia ini akan hancur dilanda oleh ke-Dursilaan atau kejahatan. Sebab, Susila merupakan alat untuk menjaga Dharma.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.

Pada hakekatnya hanya dari adanya pikiran yang benar akan menimbulkan perkataan yang benar sehingga mewujudkan perbuatan yang benar pula. Dengan ungkapan lain adalah satunya pikiran, perkataan, dan perbuatan

6

2.4. Hubungan Etika, Moral dan Susila Dengan Ahklak

 

Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa etika, moral dan susila berasal dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yaitu ketentuan yang berdasarkan petunjuk Weda dan hadits. Dengan kata lain etika, moral dan susila berasa dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.

2.4.1.   Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani; ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Etika dalam arti yang khusus mencakup empat hal sebagai berikut;

  1. a.      Pertama,dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
  2. b.      Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
  3. c.       Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan itu dinilai baik atau buruk.

Keempat, dilihat dari segi sifatnya etika bersifat relatif yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.

2.4.2.   MORAL

Moral berasal dari bahasa Latin; mores, yang berarti kebiasaan. Dalam makna istiah adalah suatu yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

2.4.3.      SUSILA

Aspek-aspek inti agama hindu terdiri dari tiga bagian yang di sebut tri kerangka agama hindu yaitu tatwa (filsafat), susila (etika) ,upacara (ritual) . ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya  satu dengan yang lain saling mengisi . jika diibiratkan seperti sebutir telur  upacara adalah kulit telor  susila adalah sebutir  telor , dan tattwa adalah kuning telur . bagi salah  satu bagian ini tidak ada maka telur tersebut akan rusak.

2.4.4.      AHKLAK

Dalam kehidupan, akhlak memegang peranan yang sangat besar. Akhlak berhubungan erat dengan setiap perbuatan manusia yang diukur dengan wahyu apakah suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk. Dalam akhlak ada nilai dasar apakah perbuatan itu baik atau buruk. Akhlak mengandung pengertian perbuatan yang timbul melalui sebuah ikhtiar dan kesengajaan. Perbuatan itu meski diketahui waktu ia melakukan apa yang ia perbuat. Akhlak pada dasarnya menjelaskan kata antara baik dan buruk. Dalam akhlak juga menerangkan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan manusia. Selanjutnya akhlak juga membicarakan tentang jalan ataupun proses yang dilalui oleh manusia untuk mencapai tujuannya.

Dalam kehidupan yang serba modern sekarang tentu banyak kepentingan yang ada dalam anggota masyarakat. Mewujudkan masyarakat yang harmonis memerlukan aturan-aturan yang bersifat universal yang dapat dipertanggungjawabkan secara Ilahi dan kemanusiaan. Dengan kata lain, aturan tersebut haruslah sesuai dengan tuntutan zaman yang ada dan sesuai dengan akidah agama. Di sinilah letak urgensi pendidikan akhlak yaitu dalam merumuskan pendidikan agar selalu berada dalam jalur yang benar dan selalu dalam orientasi yang lebih baik. Selanjutnya dalam masa yang serba modern ini maka urgensi pendidikan akhlak yang terpenting adalah bagaimana mewujudkan masyarakat yang madani.

Masyarakat modern tentunya mempunyai tantangan yang lebih kompleks, untuk itulah pendidikan akhlak sangat penting dan diharapkan dapat menjadi sarana pembentukan kepribadian manusia. Dengan demikian urgensi pertama dan utama pendidikan akhlak adalah membentuk pribadi yang berakhlak. Pembentukan pribadi yang berakhlak tidaklah terlepas dari tujuan pendidikan Islam. Pendidikan Islam itu sendiri bertujuan membentuk insan kamil yang tentunya sifat dan sikapnya selalu mencerminkan pribadi muslim. Pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mencakup aspek jasmaniah dan ruhaniah. Keduanya merupakan target pembentukan pribadi yang berakhlak.

Pengaruh modernisasi dan industrialisasi sebagai dampak dari era globalisasi diharapkan dapat dinetralisasi dengan tetap mempertahankan akhlakul karimah dalam kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat. Pendidikan akhlak dalam era globalisasi sangatlah menentukan. Di saat pendidikan sekarang ini yang semakin sekuler dan materialis sehingga nilai-nilai akhlak dan moralitas bermasyarakat dalam erosi yang sangat besar. Manusia cenderung hanya mengejar tuntutan materi saja dan hal ini membawa manusia pada situasi yang dilematis, manusia telah kehilangan nilai kemanusiaan. Manusia telah menjadi mesin kehidupan yang harganya bisa diukur dengan uang atau benda lainnya. Di sini terlihat urgensi pendidikan akhlak agar manusia tidak kehilangan kemanusiaannya dan selanjutnya terwujud sebuah masyarakat yang madani.

2.5.      TRI GUNA DAN DASA MALA

Ajaran agama Hindu merupakan ajaran yang bersifat komprehensif, dalam arti tidak saja mengurusi/mengajarkan bagaimana memuja Ida Sang Hyang Widhi, tetapi juga berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia. Inti ajaran agama Hindu terdiri dari tiga bagian yang disebut Tri Kerangka agama Hindu. Tri Kerangka agama Hindu tersebut terdiri dari tattwa (filsafat), susila (etika) dan ucapan (ritual). Ketiga aspek ini merupakan satu jalinan yang sangat erat hubungannya dan satu dengan yang lain saling isi-mengisi. Jika diibaratkan seperti sebutir telur, upacara adalah kulit telur, susila adalah putih telur, dan tattwa adalah kuning telur. Bila salah satu bagian ini tidak ada atau rusak maka telur tersebut akan rusak. Begitu juga pengetahuan/tatwa yang tinggi jika tidak diimbangi oleh etika yang memadai maka hidup ini tidak akan harmonis.

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, selalu ketergantungan satu dengan yang lainnya. Dalam hidup bersama ini diperlukan adanya suatu peraturan-peraturan untuk mengatur kehidupan ini. Peraturan atau pedoman dalam bertingkah laku yang baik disebut tata susila.

Kata susila berasal dari bahasa Sansekerta yang teridi dari kata “Su” artinya baik. Dan “Sila” artinya tingkah laku. Jadi susila adalah tingkah laku yang baik. Di dalam kitab Wraspati tattwa, 26 dinyatakan mengenai arti kata sila dalam kalimat : “Sila ngaranya angraksa acara rahayu”. Kata susila mengandung pengertian perbuatan baik atau tingkah laku yang baik.

Agama adalah dasar tata susila yang kokoh dan kekal, ibarat bangunan jika landasan atau pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut akan mudah roboh. Jika tata susila sudah dibangun atas dasar agama sebagai landasannya yang kokoh dan kekal, maka tata susila itu akan mendalam dan meresap dalam pribadi seseorang. Ajaran tata susila yang berdasarkan ajaran agama, seperti tertera dalam kitab-kitab Upanisad atau Tattwa, menyatakan suatu dalil yang mengakui tunggalnya Jiwatman (roh) semua makhul dengan Tuhan (Paramatma). Dengan adanya ini maka kita akan merasakan suatu renungan kebijaksanaan yang mendalam, bahwa kita sebenarnya adalah satu dan sama dengan makhluk lainnya.

Sang Hyang Widhi Wasa adalah tunggal dan berada di mana-mana yang menjadi dasar hidup ciptaan-Nya yang terpisah-pisah dan beraneka ragam macamnya. Begitulah Jiwatman dalam semua makhluk terpisah satu dengan yang lainnya dengan bentuk badan yang berbeda-beda, yang pada dasarnya dihidupkan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Berdasarkan tunggalnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dengan Jiwatman, maka berarti pula tunggalnya antara Jiwatman seseorang dengan Jiwatman orang lain.

Jadi prinsip dasar dari susila Hindu adalah adanya satu Atman yang meresapi segalanya. Ia merupakan roh terdalam dari semua makhluk, yang merupakan kesadaran murni. Bila kamu merugikan tetanggamu sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri. Bila kamu merungikan makhluk hidup lainnya, sebenarnya kamu merugikan dirimu sendiri, karena segenap alam tiada lain adalah dirimu sendiri. Inilah ajaran susila Hindu yang merupakan dasar kebenaran methapisik yang mendasari segala kode etik Hindu. Atman atau sang diri adalah satu. Satu kehidupan bergetar dalam semua makhluk.

Dari semua makhluk ciptaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk hanyalah manusia. Karena di antara makhluk hidup, manusia merupakan makhluk paling istimewa, makhluk yang paling sempurna karena memiliki Tri Pramana (bayu, sabda, idep). Dengan idep manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mampu melebur perbuatan buruk ke dalam perbuatan baik. Menyadari hal tersebut maka janganlah sia-siakan kesempatan lahir sebagai manusia untuk berbuat baik (susila), agar tujuan kita lahir ke dunia bisa tercapai. Dalam kitab Sarasamuscaya, sloka 160 disebutkan sebagai berikut :

“Silam pradhanam puruse tadyaseha pranasyati, na tasya jivitenartho duh silam kinprayojanam, Sila ktikang pradhana ring dadi wwang, hana prawrtti ning dadi wwang dussila, aparan ta prayojananika ring hurip, ring wibha, ring kaprajinan, apan wyartha ika kabeh, yan tan hana silayukti”.

 

 

 

 

Artinya :

Susila itu adalah yang paling utama, pada titisan sebagai manusia. Jika ada perilaku titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya jika tidak ada kesusilaan.

Ajaran susila hendaknya terapkan di dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma.

Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebijakan agar tidak jatuh ke neraca. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya.

Tata susila membina watak manusia agar menjadi anggota keluarga yang baik, anggota masyarakat yang baik, anggota/putra bangsa yang berbudi pekerti luhur, berkeperibadian mulia sehingga mencapai kebahagiaan abadi. Adapun kebahagiaan yang mutlak dan abadi hanya dapat dinikmati bila roh (Jiwatman) seseorang dapat mencapai kesatuan dengan Ida Sang Hyang Widhi, karena hanya dengan kesatuan antara Jiwatman dengan Ida Sang Hyang Widhi itu saja yang dapat memberi kebahagiaan yang diliputi oleh perasaan tenang dan tentram yang dilukiskan dengan istilah anandha, suka tanpa wali duka.

Pada dasarnya dalam diri manusia ada dua kecenderungan, yaitu kecenderungan berbuat baik dan kecenderungan berbuat buruk. Sri Kresna di dalam kitab Bhagawadgita membagi kecenderungan budhi manusia menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Daiwi Sampad, yaitu sifat-sifat kedewaan.
  2. Asuri Sampad, yaitu sifat-sifat keraksasaan.

Daiwi Sampad bermaksud menuntun perasaan manusia ke arah keselarasan antara sesama manusia. Sifat-sifat ini perlu dibina, seperti diungkapkan di dalam kitab Bhagawadgita, XVI.1, 3 dan 5 yang berbunyi sebagai berikut :

“Abhayam sattwassamocuddhir jnanayogawyasvathitih danamdamaca yadnas ca swadhyayas tapa arjawam”.

 

 

 

Artinya :

Tidak mengenal takut, berjiwa murni, giat untuk mencapai kebijaksanaan dan yoga, berderma, menguasai indria, berkorban, mempelajari ajaran-ajaran kitab suci, taat berpantang dan jujur.

“Tejahksama dhrtih saucam adhro na ‘timanita Bhawanti sampadam daiwin abhijatasya bharata”.

Artinya :

Kuat, suka memaafkan, ketawakalan, kesucian, tidak membenci, bebas rasa kesombongan, ini tertolong pada orang yang lahir dengan sifat-sifat dewata, oh Arjuna.

“Daiwi Sampad wimoksaya nibandaya suri mata ma sucah sampadan daiwim abhijato si pandawa.

Artinya :

Kelahiran yang bersifat Ketuhanan dikatan memimpin ke arah moksa dan yang bersifat setan ke arah Ikatan. Jangan bersedh hati, oh pandawa (Arjuna), engkau dilahirkan dengan sifat-sifat dewata.

Kemudian mengenal sifat-sifat Asuri Sampad (sifat-sifat yang buruk) yang harus kita hindari dijelaskan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.4, 17 dan 21 yang berbunyi sebagai berikut :

“Tambho darpo bhimanas krodah parusyam eva ca Ajnanam cabhijatasya partha sampadan asur.

(Bhawadgita, XVI.4)

Artinya :

Berpura-pura, angkuh, membanggakan diri, marah, kasar, bodoh, semuanya ini adalah tergolong yang dilahirkan dengan sifat-sifat raksasa (Asuri Sampad),oh Arjuna.

“Atma sambhawatah stabdha dhana mana madanwitah Jayabnte namayajnais te dambhena widhipurvakam.”

(Bhawadgita, XVI.17)

Artinya :

Menganggap dirinya yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya ini adalah bertentangan dengan ajaran kitab suci.

“Trivihdam narakasyedam dvaram nasanam atmanah Kamah krodhas tatha lobhas tasmad etat trayam trajett.”

(Bhawadgita, XVI.21)

Artinya :

Ada tiga gerbang pintu neraka yang meruntuhkan Atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu, orang harus menghindari ketiganya itu.

Oleh karena itu, setiap perbuatan baik dan tidak baik yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, berarti juga berbuat baik atau tidak baik kepada dirinya sendiri. Maka dari itu timbul suatu ajaran yang disebut Tat Twam Asi. Tat Twam Asi berarti itu adalah engkau (Tuan), semua makhluk itu adalah Engkau, Engkaulah awal mula roh (Jiwatman) dan Sat (Prakerti) semua makhluk. Hamba ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu, oleh karena itu Jiwatmanku dan Prakertiku tunggal dengan Jiwatman dan Prakerti semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahman “Aham Brahma Asmi”. Demikianlah terscantum di dalam kitab Brhadaranyaka Upanisad. Ajaran susila merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan kita sebagai manusia agar terwujud hubungan yang harmonis antara satu dengan yang lainnya. Ajaran susila ini hendaknya diusahakan oleh setiap manusia.

Demikian harus kita sadari, betapa pentingnya ajaran tata susila itu kita terapkan. Tata susila pada dasarnya bertujuan untuk membina hubungan yang selaras / rukun antara seseorang (Jiwatman) dengan mahluk lainnya, antara masyarakat dengan masyarakat, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya dan antara manusia dengan alam sekitarnya.

Timbullah sifat-sifat Daiwi sampad dan Asuri sampad pada diri manusia disebabkan oleh beberapa faktor, bisa faktor intern, bisa dari faktor extern dan bisa juga dari kedua faktor tersebut. Berkaitan dengan keharmonisan hidup agama Hindu mengarahkan  kita untuk selalu menumbuh kembangkan sifat-sifat Daiwi Sampad.

2.5.1.      TRI GUNA

  1. A.     Pengertian tri guna

Triguna terdiri dari 2 kata yakni“Tri” yang artinya tiga (3)“Guna” yang artinya sifat Jadi, Triguna artinya : tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara sifat yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi dan membentuk watak seseorang. Apalagi diantara ketiga sifat-sifat tersebut terjalin dengan harmonis, maka seseorang akan dapat mengendalikan pikirannya dengan baik. Akan tetapi, hubungan antara ketiga sifat itu akan terus bergerak bagaikan roda kereta yang sedang berputar silih berganti, saling ingin menguasai sifat yang lain, selama manusia hidup.

  1. B.      BAGIAN- BAGIAN TRIGUNA

 

  • Sifat Sattwa atau Sattwam

Sifat sattwa atau sattwam yakni sifat tenang, suci, bijaksana, cerdas, terang, tentram, waspada, disiplin, ringan dan sifat-sifat baik lainnya.

  • Sifat Rajah atau Rajas

Sifat rajah atau rajas yakni sifat lincah, gesit, goncang, tergesa-gesa bimbang, dinamis, irihati, congkak, kasar, bengis, panas hati, cepat tersinggung, angkuh dan bernafsu.

  • Sifat Tamah atau Tamas

Sifat tamah atau tamas yakni sifat paling tidak sadar, bodoh, gelap, sifat pengantuk, gugup, malas, kumal dan kadang-kadang suka berbohong.

  1. Pengaruh Triguna pada Kehidupan Pribadi Seseorang
  • Orang yang dikuasai oleh sifat sattwam biasanya berwatak tenang, waspada, dan berhati yang damai serta welas asih. Kalau mengambil keputusan akan ditimbang terlebih dahulu secara matang, kemudian barulah dilaksanakannya. Segala pikiran, perkataan, dan perilakunya mencerminkan kebijaksanaan dan kebajikan. Seperti tindakan Sang Yudistira dan Sang Krishna dalam cerita Mahabharata, dan tindakan Sang Rama dan Wibhisana dalam cerita Ramayana.
  • Orang yang dikuasai oleh sifat rajah biasanya selalu gelisah, keinginannya bergerak cepat, mudah marah dan keras hati. Orangnya suka pamer, senang terhadap yang memujinya dan benci terhadap yang merendahkannya. Yang baik pada sifat rajah itu adalah sifat giat bekerja dan disiplin.
  • Orang yang dikuasai sifat tamah biasanya berpikir, berkata, dan berbuat sangat lamban. Kadang-kadang enggan, malas, suka tidur, rakus, dan dungu. Besar birahinya, keras keinginannya, serta suka tidur campur dengan anak dan istrinya.

2.5.2.      DASA MALA

 

Dalam Kitab Bhagawadgita telah disebutkan bahwa pada dasarnya kecederungan budhi manusia ada dua jenis yaitu Daiwa Sampad dan Asuri Sampad. Asuri sampad adalah kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat tidak baik (Asubha  Karma). Banyal perilaku yang tidak baik yang perlu kita hindari, dan bahkan dalam ajaran agama Hindu perbuatan-perbuatan yang tidak baik digolongkan Adharma dan merupakan musuh dalam diri manusia. Ada beberapa kelompok musuh di dalam diri manusia yaiti : Tri Mala, Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira dan Dasa Mala. Dasa Mala adalah sepuluh macam sifat-sifat yang kotor/tidak baik, yang perlu kita hindari karena tergolong Asubha Karma.

Dasa Mala merupakan sumber dari kedursilaan, yaitu bentuk perbuatan yang bertentangan dengan susila, yang cenderung kepada kejahatan. Semua perbuatan yang bertentangan dengan susila hendaknya kita hindari dalam hidup ini agar terhindar dari penderitaan. Adapun pembagian dari Dasa Mala tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Tandri artinya yang malas, suka makan dan tidur saja, tidak tulus, hanya ingin melakukan kejahatan sikap malas adalah sikap yang dibenci oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena sikap ini merupakan pintu penghalang untuk mencapai tujuan hidup. Misi kita hidup ke dunia ini adalah melakukan kerja. Jika ada orang yang lahir ke dunia ini tidak mau melakukan pekerjaan (malas) mala sia-sialah dia hidup, ia tidak akan bisa mencapai Kesempurnaan hidup.  Hilangkan sifat bermalas-malas karena tidak ada tujuan yang dapat dicnapai dengan hanya berdiam diri, bahkan sifat malas akan makin menjauhkan Atma dengan Paramatma. Oleh karena itu hilangkanlah sifat malas itu lakukanlah tugas dan kewajiban sehingga kita bisa mencapai tujuan yang diinginkan.
  1. Kleda artinya berputus asa, suka menunda dan tidak mau memahami maskud orang lain. Sifat putus asa, suka menunda-nunda suatu pekerjaan tergolong sikap yang didominasi oleh sifat-sifat tamas. Orang yang dalam kehidupannaya lebih banyak dikuasai oleh sifat-sifat tamas akan menyebabkan Atma jatuh ke alam neraka. Apabila sifat tamas ini lebih unggul dari sattwam dari rajas, maka Atma akan menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena kleda ini merupakan penghapang untuk maju/untuk mencapai Kesempurnaan hidup, maka kita harus mengendalikannya. Jangan  cepat terputus asa dalam melakukan pekerjaan, jangan suka menunda-nuda waktu untuk melakukan tugas dna kewajiban karena hidup kita hanya sebentar.
  1. Leja artinya berpikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan. Pikrian paling menentukan kualitas perilaku manusia dalam kehidupan di dunia ini. Pikirkanlah yang mengatur gerak sepuluh indria sehingga disebut Raja Indria. Kalai Raja Indria tidak baik maka indria tidak baik maka indria yang lain pun menjadi tidak baik pula. Oleh karena itu marilah jaga kesucian pikiran kita jangan sampai ternoda dan menjadi gelap. Pikiran gelap, pikiran yang dikuasai oleh gejolak hawa nafsu sangat merugikan diri kita maupun orang lmain. Upayakan untuk menjaga pikiran agar tidak gelap/tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Ada tiga cara untuk menjaga kesucian pikiran yaitu :
    1. Si tan engin adengkya ri drbyaning len, artinya tidak menginginkan milik orang lain.
    2. Si tan krodha ring sarwa sattwa, artinya tidak membenci semua mahluk.
    3. Si mamituha ring haning karmaphala, artinya orang yang amat yakin pada kebenaran hukum karmaphala.
  1. 1.      Kitula artinya menyakiti orang lain, pemabuk dan peniru

Menyakiti dan membunuh mahluk lain, lebih-lebih manusia merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama. Kutila juga berarti pemabuk. Orang yang suka mabuk maka pikirannya akan menjadi gelap. Pikiran yang gelap akan membuat orang tersebut melakukan hal-hal yang bersifat negatif termasuk menyakiti orang lain, menipu dan sebagainua. Di dalam pergaulan ini akan membawa pahala buruk baik pada kehidupan sekarang maupun pada kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu marilah kita ubah himsa karma menjadi ahimsa karma. Ahimsa (tanpa kekerasan) berarti menghilangkan yang menyebabkan mahluk lain menderita, agar kehidupan kita menjadi tenang, tentram dan bahagia.

  1. Kubaka artinya pemarah, suka mencari-cari kesalahan orang lain, berkata sembarangan dan keras kepala. Bila kita emosi atau marah, kita mengeluarkan cairan adrenalin dalam darah kita. Ini memiliki pengaruh penurunan kekebalan pada badan kita sehingga kita akan menjadi sakot. Sebaliknya bila kita dipenuhi dengan kasih sayang dan kedamaian dalam pikiran, maka kita akan mengeluarkan cairan endorfin yang dapat menambah sistem kekebala tubuh sehingga dapat mencegah penyakit. Kita harus mengatasi kemarahan dan kebencian yang ada dalam diri kita dengan mengendalikan emosi sehingga kedamaian hidup dapat tercapai.
  1. Metraya adalah suka berkata menyakiti hati, sombong, irihati dan suka menggoda istri orang lain. Perkataan yang diucapkan dengan maksud jahat akan dapat menyakiti orang lain bahkan bisa menyebabkan kematian baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri (Wasita nimittanta pati kepangguh). Oleh sebab itu martilah kendalikan kata-kata kita agar terdengar manis dan mengejutkan, lemah-lembut, ospan, sehingga dapat menyenangkan orang lain dan diri sendiri (Wasita nimittanta manemu laksmi. Ada empat macam pengendalian kata-kata yaitu :
  2. Tidak suka mencaci maki
  3. Tidak berkata kasar pada orang lain
  4. Tidak memfitnah
  5. Tidak ingkar janji (tidak berbohong)
  1. Megara artinya berbuat jahat, berkata manis tetapi pamrih

Perbuatan jahat tergolong asubha karma dan perbuatan ini akan merupakan penghalang untuk mencapai tujuan rohani.

Ada tiga macam  pengendalian perbuatan agar tercapai tujuan keharmonisan, yaitu :

  1. Tidak menyiksa/membunuh mahluk lain
  2. Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda orang lain (tidak mencari)
  3. Tidak berzina
  4. Ragastri artinya bernafsu dan suka memperkosa

Ragasti merupakan sifat-sifat yang bertentangan dengan ajaran agama. Sifat-sifat seperti itu sifat-sifat asuri sempat/sifat-sifat keraksasaan. Memperkosa kehormatan orang lain adalah perbuatan terkutuk dan hina. Sifat-sifat suka memperkosa harus dihindari untuk menjaga agar tidak terjadi kemerosotan moral. Jika ragastri dibiarkan maka akan menambah banyak terjadi perbuatan tuna susila. Untuk melenyapkan sifat-sifat itu kita hendaknya berusaha untuk mengendalikan dan menghindarinya, serta mengisi diri dengan kegiatan-kegiatan yang positif dan bisa menuntut jiwa bersatu dengan Ida snag Hyang Widhi Wasa.

  1. Bhaksa Bhuana artinya suka menyakiti orang lain, penipu, dan hidup berpoya-poya.

Berpoya-poya berarti mempergunakan harta melebihi batas normal. Hal ini tidak baik dan melanggar dharma, yang dapat berakibat tidak baik pula. Sering kita lihat di masyarakat , bahwa kekayaan yang berlimpah jika penggunaannya tidak didasari oleh dharma pada akhirnya justru menyebabkan orang akan masuk neraka, seperti mabuk, mencari wanita penghibur dan sebagainya, selain menuntun budi pekerti kita berpla hidup sederhana akan bisa juga meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan baik lahir maupun batin.

  1. Kimharu artinya penipu dan pencuri terhadap siapa saja tidak pandang bulu, pendengki dan irihari. Sifat dengki dari iri hati merupakan salah satu sifat yang kurang baik (Asubha Karma). Sifat Ini patut dihilangkan dari diri seseorang itu. Bahkan saking kuatnya sifat dengki dan iri hati bercokol pada diri seseorang, diperlukan upaya yang kuat pula untuk mengalahkannaya. Karena itu dia katakana sebagai salah satu musuh dalam diri manusia out. Ingat Sadi Ripu (musuh yang enam jumlahnya dalam diri manusia itu, yang patut dikalahkan yaitu, Kama, Loba Krodha, Mada, moha dan Matsarya). Matsarya adakah sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat kurang simpatik tetapi juga kurang baik. Bisa juga tidak etis. Sifat dengki dan iri hati juga termasuk salah satu sifat yang kotor dari sepuluh macam sifat kotor (Dasa Mala) lainnya yang perlu kita kendalikan agar tercapai kesucian diri serta dapat bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Demikianlah sepuluh yang menyebabkan manusia tersesat dan jatuh ke neraka. Sadarilah hal tersebut dan dihindari Dasa Mala itu sehingga tujuan kita untuk mewujudkan meoksartham jagadhita yang ca iti dharma dapat terwujud. Adapun caranya sangat sederhana, yaitu dengan berbuat baik, kurnagi keterikatan terhadap benda-benda duniawai, tumbuhan rasa kasih sayang kepada sesama serta tidak mementingkan diri sendiri.

Di zaman kaliyuga ini kelihatan Dasa Mala tumbuh dengan suburnya di hati manusia. Hal ini bisa kita lihat dalam masyarakat begitu banyaknya kejahatan-kejahatan yang terjadi. Tindak kejahatan terjadi akibat dari sangat kurangnya pengendalian diri, keterikatan terhadap benda-benda  duniawi yang begitu besar sehingga sering tanpa Disadari merugikan orang lain. Orang banyak  mencari popularitas dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai  tujuan, seperti kasus pengeboman di beberapa daerah di Indonesia. Para terdakwa dengan penuh senyum tawa bangga dapat melakukan perbuatan tersebut dan sedikitpun tidak memeprkihatkan rasa penyesalan atas peristiwa yang menelan ratusan korban jiwa. Belum genap setahun tragedy bom bali, terjadi peristiwa yang menggegerkan kota Jakatta dengan terjadi bom di Hotel JW Mariot Jakarta, pada tanggal 5 Agustus 2003. Ini menunjukkan bahwa orang seperti itu sudah diliputi  oleh Dasa Mala terutama Leja (pikiran gelap, bernafsu besar dan gembira melakukan kejahatan).

Di era reformasi ini, orang mulai bebas berbicara, sering berkata sembarangan, saling mencari maki, memfitnah yang dapat menimbulkan akibat yang fatal, seperti rumah dibakar dan terbunuhnya orang lain. Tidak jarang ada pula orang yang berkata manis namun hatinya sepahit empedu. Apa yang dikatakan bohong belaka. Kata manis yang diucapkan  hanyalah sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Akibat dari keterikatan diri terhadap benda-benda duniawi, banyak orang mulai menghalalkan segala cara untuk memuaskan diri ,seperti melakukan penipuan, pemerasan, dan perampokan. Hasil kejahatan tersebut tidak jarang dipergunakan untuk berfoya-foya, mabuk-mabukan, membeli narkotik, dan kemudian melakukan pemerkosaan.

Pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi, orang tidak lagi menghormati orang lain, banyak siswa tidak lagi hormat kepada guru, dan banyak anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya. Pelecehan seksual sering terjadi, bahkan orang tua memperkosa anak kandungnya sendiri. Berita di televise setiap hari menanyangkan orang-orang yang terlibat tindak criminal, seperti perampokan, pemerkosaan, lebih-lebih yang terlibat perdagangan narkotik yang sulit diselesaikan seperti patah satu tumbuh seribu. Pembunuhan terjadi dimana-mana, sepertinya sudah menjadi pemandangan yang biasa. HAM sudah tidak dihargai lagi bahkan sering diinjak-injak. Banyak manusia tidak lagi memikirkan etika, sopan santun, dan tata karma. Di zaman kali yuga ini artha di agung-agungkan, seolah-olah artha menduduki tingkat pertama dan merupakan segala-galanya, seperti disebutkan did alam kitab Nitisastra IV.7 sebagai berikut :

Singih yan tekaning yuganta kali tanhana lewuha sakeng mahadhana, tan walanguna curu pandita widagha pada mangayap ing dhacewara, sakwehning inasya san wiku hilang, kulu ratu pada hna kasyasih, putradewa pita ninda ring bapa si cudra banija, wara wiryapandita”

Artinya :

Sesungguhnya bila zaman kali datang pada akhir yuga hanya kekayaan yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi, bahwa orang yang saleh, orang yang pandai akan mengabdi kepada orang yang kaya. Semua pelajaran Pendeta yanggaib-gaib dilupakan orang, keluarga-keluarga yang baik dan raja-raja menjadi hina paa. Anak-anak akan menipu dan mengumpat orang tuanya, irang hina akan menjadi saudagar, terdapat kemuliaan dan kepandaian.

2.6.            Pengaruh Tri Guna Terhadap Kepribadian Manusia

Tri Guna ini merupakan tiga sifat yang mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga dapat  kita lihat di dunia ini ada bermacam-macam. Kecenderungan sifat manusia. Ada orang yang berpenampilan lemah lembut selalu  ramah, dan menyenangkan bagi yang melihat. Namun ada juga orang yang rajin, kreatif serta energik dalam kehidupannya. Selain hal tersebut di atas tidak jarang juga kita melihat ada orang yang penampilannya awut-awuran, tidak terururs serta pemalas. Semua penampilan tersebut disebabkan oleh adanya pengaruh dari bagian-bagian Tri Guna yang tidak seimbang.

Beberapa sloka dalam kitab suci yang memabahas tentang pengaruh Tri Guna terhadap kepribadian manusia adalah sebagai berikut :

“Yan satwawika ikang citta, ya hetuning atma pamunggihaken kamoksan, apan ya nirmala, dumeh ya gumawayaken rasaning agama lawan wekas ning guru

(Wrghaspati tattwa, 20)

Artinya :

Apabila sattwa citta itu, Itulah Atma menemukan kamoksaan, atau kelepasan oleh karena itu ia suci, menyebabkan ia melaksanakan ajaran agama dan petuah guru.

Yapwan pada gong nikang sattwa lawan rajah, yeka matangnyan mahyun mugawaya dhama denya, kedadi pwakang dharma denyu kalih, ya ta matangnyun mudih ring swarga, apan ikang sattwa mahyun ing gawe hayu, ikang rajah manglakwaken”

(Wgraspati tatwa, 20)

 

 

 

Artinya :

Apabila sama besarnya anatara sattwam dan rajah, itulah menyebabkan ingin mengamalkan dharma olehnya, berhasilah dharma itu olehnya berdua, itulah menyebabkan  pulang ke sorga, sebab sattwam ingin berbauat baik, si rajah itu yang melaksanakan.

Yan pada gingnta katelum ikang sattwa, rajah, tamah, ya ta matangnyan pangjadma manusia, apaan pada wineh kahyunya”

(Wraspati tatwa, 22)

Artinya :

Apabila sama besarnya ketiga Guna, Sattwan, Rajah, dan Tamah itu, itulah yang menyebabkan penjelmaan manusia karena sama memberikan kehendaknya / keinginannya.

“Yapwan citta si rajah magong, kridha kewala, sakti pwa ting gawe hela, tat a getening Atma tibeng naraka”

(Wrhspati tattwa, 23)

Artinya :

Apabila citta si rajah besar, hanya marah kuat pada perbuatan jahat, itulah yang menyebabkan jatuh ke neraca.

Berdasarkan sloka tersebut di atas maka jelaskah yang menyebabkan adanya perbedaan kelahiranitu adalah Tri Guna (sattwam, rajah, dan tamah) karena lahir dari Tri Guna dan dari karma muncul suka duka.

Demikianlah penjelasan beberapa sloka kita Wrhaspati tattwa, yang pada dasarnya menyatakan bahwa Tri Guna ada pada setiap prnag hanya saja dalam ukuran yang berbeda-beda. Orang yang lebih banyak dipengaruhi oleh guna sattwam, maka ia menjadi orang yang bijaksana, berpikiran terang dan tenang. Sifat kasih sayang, lemah lembut, lurus hati juga merupakan sifat sattwam. Jika guna rajah lebih banyak mempengaruhi seseorang maka orang tersebut menjadi tangkas, keras, rajin dan penuh usaha. Sifat congkak dan iri, bengis merupakan sifat-sifat rajah. Namun bila guna tamaha lebih banyak berpengaruh pada diri seseorang maka orang tersebut menjadi lamba, malas dan bodoh. Sifat-sifat doyan makan, mengumbar hawa nafsu juga termasuk sifat-sifat tamah. Di dunia ini tak seorang pun yang luput dari Tri Guna. Ketiga Guna tersebut merupakan satu kesatyan yang bekerja sama dalam kekuatan yang berbeda-beda. Perpisahan diantara tiga guna itu tidak mungkin terjadi karena dengan demikian tidak akan ada suatu gerak apapun pada manusia. Dan pengaruh Tri Guna tersebut maka sifat-sifat orang itu ada yang digolongkan sifat-sifat yang baik dan ada yang buruk.

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Tri Guna pada hakekatnya merupakan bagian dari prakerti/predhana, sebagai asas kebedaan. Bila Purusa bertemu dengan Prakerti maka Tri Guna mulai aktif dan ingin saling menguasai. Apabila kekuatan sattwam menngunguli rajah dan tamah, maka Atma mencapai moksa / kelepasan. Bila sattwam dan rajah sama kuatnya, maka Atma mencapai sorga. Jika kekuatan sattwam, rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari sattwam, Rajah dan Tamah berimbang, maka menjelmalah Atma sebagai manusia. Jika sifat rajah yang lebih unggul dari Sattwam dan Tamah, menyebabkan Atma jatuh ke alam neraca . Apabila sifat tamah yang lebih unggul dari Sattwam dan rajah , maka Atma menjelma menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Dari penjelasan tersebut, kita mempunyai pengetahuan bahwa Tri Guna sangat berpengagruh terhadap baik-buruknyakehdiupan manusia. Manusia hendaknya  mampu mengendalikan Tri Guna ini dengan baik, menggunakan sattwam sebagai pengendali, sehingga Tri Guna akan memebirkan manfaat pada diri manusia. Kendalikanlah guna rajah dan tamah ke arah Sattwam, karena bilatamah membesar pada citta kita maka kana menyebabkan Atma mengalami kemerosostan dan menjelma menjadi binatang. Sungguh hal yang kita hindari.

2.7.      PENGERTIAN  DAN BAGIAN-BAGIAN CATUR WARNA , CATUR ASRAMA DAN CATUR PURUSARTHA.

  1. A.                Catur Warna

Kata Catur Warna berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata Vr yang berarti pilihan. Catur warna berarti empat pilihan bagi setiap orang terhadap profesi yang cocok untuk pribadinya masing-masing. Sistem kemasyarakatan Agama Hindu “Catur Warna” yang di dalam sejarah perkembangannya mengalami bintik-bintik hitam. Bintik-bintik hitam itu dapat meracuni tata kemasyarakatan Hindu “Catur Warna”, dimana asal-usulnya bukanlah dimaksudkan demikian. Hal ini merupakan persoalan yang mesti dihadapi oleh masyarakat Hindu secara umum sebagai suatu struktur tetap dari masyarakat Hindu. Dalam kehidupan individu “Warna” adalah amat penting karena dapat pula merangsang hidup manusia untuk berbuat baik atau jahat. Prilaku jahat sebagai akibat tidak langsung yang dapat ditimbulkan setiap saat. Warna “Catur Warna” memiliki manfaat sangat strategis dalam upaya meningkatkan professional umat Hindu.

Kata “Catur Warna” dalam ajaran Agama Hindu berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata “Catur dan Warna”. Catur berarti empat dan Warna berarti tutup, penutup, warna, bagian luar, jenis, watak, bentuk, kasta. Catur Warna berarti empat pengelompokkan masyarakat dalam tata kemasyarakatan agama Hindu yang ditentukan berdasarkan profesinya. Pemahaman tentang “Catur Warna” dapat dirumuskan berdasarkan sastra drstha.

Yang dimaksud pemahaman “Catur Warna” berdasarkan sastra drstha adalah pemahaman yang bertujuan untuk mendapatkan pengertian tentang catur warna menurut rumusan kitab suci, seperti :

“Caturvarnyammaya srstam, gunakarma vibhagasab, tasya kartaram apimam, viddhy akartaram avyayam” (Bhagawan Gita IV.13)

Artinya :

“Catur Warna aku ciptakan menurut pembagian dari guna dan karma (sifat dan pekerjaan). Meskipun aku sebagai penciptanya, ketahuilah aku mengatasi gerak dan perubahan.

Demikianlah kitab suci menyebutkan bahwa konsepsi tentang “Catur warna” diciptakan oleh Sang Hyang Paramakawi. Dengan demikian dapat diartikan bahwa setiap orang yang lahir ke dunia ini sudah barang tentu memiliki dan membawa keahliannya masing-masing. Oleh karena itu diantara kita hendaknya mau dan mampu belajar untuk mengakui kemampuan dan professional ciptaan beliau secara jujur dan bertanggung jawab. Hindarkanlah diri kita masing-masing untuk mendiskriditkan sesame kita. Mengapa demikian dan yang manakah bagian-bagian dari “Catur Warna” itu?

  1. B.     Bagian-bagian Catur Warna

Untuk dapat menjadi manusia yang baik, manusia hendaknya selalu mengadakan kerjasama yang harmonis dengan sesame mahluk ciptaan-Nya. Manusia itu hendaknya selalu merealisasikan ajaran Tat Twam Asi, Maha Kekal, tanpa awal dan akhir yang sering disebut “Wiyapi-wiyapaka nirwikara”. Wiyapa-wiyapaka berarti meresap, mengatasi, berada disegala tempat (semua mahluk) terutama pada manusia. Kriya (karya) saktinya Tuhan, yang paling utama adalah mencipta, memelihara dan melebur alam semesta ini beserta segala isinya termasuk manusia. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Percikan Tuhan yang ada dalam tubuh manusia disebut atman atau jiwatman. Didalam kitab upanisad disebutkan “Brahman atman aikyam” yang artinya Brahman (Tuhan) dengan atman adalah tunggal adanya.

Kitab Candogya Upanisad menyebutkan “Tat Twam Asi”. Kata tak berarti itu atau dia, Twam berarti engkau, dan Asi berari adalah/juga. Jadi Tat Twam Asi berarti dia atau itu adalah engkau juga. Didalam filsafat Hindu, dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesuilaan yang tanpa batas, yang identik dengan “prikemanusiaan” dalam Pancasila. Konsepsi sila prikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh adalah merupakan realisasi ajaran tattwamasi yang terdapat dalam kitab suci Weda. Dengan demikian dapat dikatakan mengerti dan memahami, serta mengamalkan, melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran Weda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tattwamasi ini “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua mahkluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri. Disini ia dapat melaksanakan tugasnya dengan rasa cinta dan keihklasan sesuai dengan ajaran agama Hindu.

“Brahmanaksatriyavisam, sudranam ca paramtapa, karmani pravibhaktani, svabhava prabhavair gunaih

(Bhagawad Gita XVIII.41)

Artinya :

“Oh, Arjuna tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatria, Vaisya, dan juga Sudra.

Pengelompokkan masyarakat menjadi empat kelas ini sebenarnya bukan saja hanya terdapat pada Hindu saja, tetapi bersifat universal. Klasifikasi tergantung dari tipe alam, bakat kelahiran manusia. Setiap kelompok dari empat kelas ini mempunyai karakter tertentu. Ini tidak selalu ditentukan oleh keturunan, sebagai mana dijelaskan dalam kitab Bhagawad Gita. Teori warna adalah sangat luas dan mendalam. Tiap-tiap individu adalah fokus dari yang maha tinggi. Selama manusia melakukan pekerjaan sesuai dengan alam kelahirannya, itu adalah baik dan benar. Dan bila mereka hanya mengabdikan diri kepada Tuhan, pekerjaannya adalah menjadi alat penyempurna dari jiwanya.

Problem dari kehidupan manusia pada dasarnya adalah menemui kebenaran dari jiwa kita dan lalu hidup menurut kebenaran itu. Ada empat tipe pada garis besarnya kehidupan manusia itu, yakni dengan mengembangkan empat macam kehidupan sosial. Keempat kelas ini tidak ditentukan oleh kelahiran akan tetapi karakteristik psykhologis. Yang manakah bagian-bagian dari catur warna tersebut?

Untuk lebih memudahkan kita memahami tentang keberadaan “Catur Warna” ke empat bagian yang dimaksud adalah :

  1. 1.      Brahmana Warna
  2. 2.      Ksatrya Warna
  3. 3.      Wesya Warna
  4. 4.      Sudra Warna

Masing-masing bagian dari Catur Warna tersebut diatas dapat dijelaskan secara singkat seperti di bawah ini :

  1. Brahmana Warna adalah individu atau golongan masyarakat yang berkecimbung dalam bidang kerohanian. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang disebut Brahmana karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kerohanian.
  2. Kesatrya Warna ialah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang memimpin bangsa dan Negara. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas itu. Seseorang disebut kesatrya karena ia memiliki kelebihan dalam bidang kepemimpinan.
  3. Wesya Warna adalah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang pertanian dan perdagangan. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia mendapatkan kepercayaan dan memiliki kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Seseorang disebut wesya karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pertanian dan perdagangan.
  4. Sudra Warna ialah individu atau golongan masyarakat yang memiliki keahlian dibidang pelayanan atau membantu. Keberadaan golongan ini tidak berdasarkan atas keturunan, melainkan karena ia memiliki kemampuan tenaga yang kuat dan mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan tugas-tugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seseorang disebut sudra karena ia memiliki kelebihan dalam bidang pelayanan.

Berdasarkan uraian singkat tersebut dapat dinyatakan bahwa yang disebut Catur Warna adalah mengelompokkan masyarakat guna dan bakat. Penggolongan masyarakat ini didasarkan atas fungsional, oleh karena pembagian golongan ini didasarkan atas tugas, kewajiban, dan fungsinya di dalam masyarakat. Penggolongan ini bukan bersifat turun-temurun. Adanya penggolongan ini merupakan suatu kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat.

Sistem warna tidak sama dengankasta, sebab agama Hindu mengutamakan ajaran Tat Twam Asi dalam memupuk pergaulan dan kerjasama dalam masyarakat. Jadi semuanya itu berdasarkan sifat dan sikap saling hormat-menghormati untuk meningkatkan sikap kemanusiaan yang agamis. Siapa saja diantara umat kebanyakan akan dapat menjadi “Brahmana, Kesatrya, Wesya, dan Sudra” bila memiliki kemauan dan kemampuan untuk itu. Tinggi rendahnya kedudukan seseorang di dalam masyarakat tidak ditentukan oleh keturunannya, melainkan oleh kemampuannya untuk menjalankan suatu tugas.

  1. C.    Catur Asrama

Kata Catur Asrama berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Catur dan Asrama. Catur yang berarti empat dan kata Asrama  berarti tempat atau lapangan “Kerohanian”. Kata “Asrama” sering juga dikaitkan dengan jenjang kehidupan. Jenjang kehidupan itu berdasarkan atas tatanan rohani, waktu, umur, dan sifat prilaku manusia.

Susunan tatanan itu mendukung atas perkembangan rohani seseorang. Perkembangan rohani berproses mulai dari bayi, muda, dewasa, tua, dan mekar. Kemudian berkembang menjadi rohani yang mantap mengalami ketenangan dan berkeseimbangan. Jadi Catur Asrama berarti empat jenjang kehidupan yang berlandaskan petunjuk kerohanian Hindu.

Adanya empat jenjang kehidupan dalam ajaran agama Hindu dengan jelas bahwa hidup itu di program menjadi empat fase dalam kurun waktu tertentu. Tegasnya dalam satu lintasan hidup diharapkan manusia mempunyai tatanan hidup melalui empat tahap program itu, dengan menunjukkan hasil yang sempurna. Dalam fase pertama, kedua, ketiga dan ke empat rumusan tatanan hidup dipolakan. Sehingga dapat digariskan bahwa pada umumnya orang yang berada dalam fase pertama dan tidak boleh atau kurang tepat menuruti tatanan hidup dalam fase yang kedua, ketiga ataupun ke empat. Demikian seterusnya diantara satu fase hidup dengan kehidupan berikutnya. Bilamana hal itu terjadi dan diikuti secara tekun maka kerahayuan hidup akan tidak sulit tercapai. Bilamana dilanggar tentu yang bersangkutan akan mendapatkan pengalaman sebaliknya. Jadi untuk memudahkan menuju tujuan hidup maka agama Hindu mengajarkan dan mencanangkan empat jenjang tatanan kehidupan ini. Masing-masing jenjang itu, memiliki warna tersendiri dan semua jenjang itu mesti dilewati hingga akhir hayat dikandung badan. Setelah itu diharapkan Atma menjadi bersatu dengan sumbernya yaitu Parama Atma.

  1. D.    Bagian-bagian Catur Asrama

Naskah Jawa Kuno yang diberi nama Agastya Parwa menguraikan tentang bagian-bagian Catur Asrama. Dalam kitab Silakrama itu dijelaskan sebagai berikut :

“Catur Asrama ngaranya Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, Bhiksuka, Nahan tang Catur Asrama ngaranya”.

(Silakrama hal 8).

Artinya :

Yang bernama Catur Asrama ialah Brahmacari, Grhastha, Wanaprastha, dan Bhiksuka.

Berdasarkan uraian dari Agastya Parwa itu menjadi sangat jelaslah pembagian Catur Asrama itu. Catur asrama ialah empat fase pengasraman berdasarkan petunjuk kerohanian. Dari ke empat pengasramaan itu diharapkan mampu menjadi tatanan hidup umat manusia secara berjenjang. Masing-masing tatanan dalam tiap jenjang menunjukkan proses menuju ketenangan rohani. Sehingga diharapkan tatanan rohani pada jenjang Moksa sebagai akhir pengasramaan dapat dicapai atau dilaksanakan oleh setiap umat. Adapun pembagian dari Catur Asrama itu terdiri dari unsur –unsur sebagai berikut :

  1. Brahmacari Asrama
  2. Grhastha Asrama.
  3. Wanaprastha Asrama.
  4. Bhiksuka “Sanyasin” Asrama.

Masing-masing jenjang dari memiliki kurun waktu tertentu untuk melaksanakannya. Pelaksanaan jenjang perjenjang ini hendaknya dapat dipahami dan dipandang sebagai kewajiban moral dalam hidup dan dan kehidupan ini. Dengan demikian betapapun beratnya permasalahan yang dihadapi dari masing-masing fase kehidupan itu tidak akan pernah dikeluhkan oleh pelakunya. Idialnya memang seperti itu, tidak ada sesuatu “permasalahan” yang patut kita keluhkan. Keluh-kesah yang kita simpan dan menguasai sang pribadi kita tidak akan pernah membantu secara ikhlas untuk mendapatkan jalan keluar dari permasalahan yang ada. Bila kita hanya mampu mengeluh tentu akan menambah beban yang lebih berat lagi. Hindu sebagai agama telah menggariskan kepada umatnya untuk tidak hanya biasa dan kaya mengeluh. Renungkanlah sloka suci berikut ini :

“Niyatam kuru karma tvam, karma jyayo hy akarmanah, sarirayatra pi cha ten a prasidheyed akarmanah

(Bhagawadgita III.8.42).

Artinya :

Lakukan pekerjaan yang diberikan padamu karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa-apa, sebagai juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja.

“Yajnarthat karmamo nyatra, loko yam karma bandhanah, tadartham karma kaunteya, muktasangah samachara

(Bhagawadgita III.9.43).

Artinya :

Kecuali pekerjaan yang dilakukan sebagai dan untuk yadnya dunia ini juga terikat oleh Hukum Karma. Oleh karenanya, O Arjuna, lakukanlah pekerjaanmu sebagai Yadnya, bebaskan dari semua ikatan.

Demikainlah Sri Bhagawan Kresna menjelaskan agar kita melakukan pekerjaan yang telah diwajibkan dengan benar dan tanpa terikat akan hasilnya. Tujuannya tiada lain adalah agar semua karma atau perbuatan yang kita lakukan diubah menjadi yoga, sehingga kegiatan itu dapat membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Bila seseorang melakukan perbuatan dengan kesadaran badan, yaitu bila mereka menyamakan dirinya sebagai manusia yang berbuat, maka perbuatannya itu tidak akan menjadi Karma Yoga. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan perasaan mementingkan dirinya sendiri, dengan rasa keterikatan, yaitu merasa perbuatannya, maka semua perbuatan semacam itu akan mengakibatkan kesedihan. Sehubungan dengan itu, renungkan sloka berikut :

“Na buddhi bhedam janayed, ajananam karmasanginam, joshayet sarva karmani, vidvam yuktah samacharan” (Bhagawadgit III.26.50)

Artinya :

Orang yang pandai seharusnya jangan menggoncangkan pikiran orang yang bodoh yang terikat pada pekerjaanya. Orang yang bijaksana melakukan semua pekerjaan dalam jiwa yoga, harus menyebabkan orang lain juga bekerja.

Bekerjalah “Karma” untuk dapat mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan hidup ini sebagai mana dijelaskan dalam ajaran Catur Purusa Artha. Hanya dengan melakukan kewajiban Karma seseorang akan terbebas dari semua masalah yang dihadapinya. Apakah Catur Purusa Artha itu?

  1. E.     Catur Purusa Artha

Di dalam ajaran agama Hindu terdapat suatu prinsip ajaran yang berbunyi “Moksa artham jagadhita yaca iti dharma” yang berarti tujuan umat manusia beragama adalah untuk mencapai “Jagadhita” atau sejaktera dan “Moksa” atau kebahagiaan. Jagadhita adalah tercapainya kesejahteraan jasmani, sedangkan Moksa adalah terwujudnya ketentraman bathin, kehidupan abadi yakni manunggalnya Sang Hyang Atma (roh) dengan Sang Hyang Widhi Wasa. Kitab Sarasamuscaya menyebutkan sebagai berikut :

“Yatnah kamarthamoksanam krtopi hi wipadyate, dharmamaya punararambhah sankalpopi na nisphalah. Ikang kayatnan ri kagawayaning kama, artha, mwang moksa, dadi ika tanpa phala, kunang ikang kayatnan ring dharmasadhana, niyata maphala ika, yadya pin angenangen juga, maphala atika”

(sarasamuscaya, 15).

Artinya :

Supaya diperhatikan dengan diingat-ingat dalam mengusahakan Kama, Artha dan Moksa, sebab tidak ada pahalanya. Adapun yang harus diusahakan dengan jalan dharma, tujuan itu pasti tercapai, walaupun hanya dalam angan-angan saja akhirnya akan berhasil.

Memperhatikan sloka di atas, jelaslah bahwa “Moksa Artha jagadhita ya ca iti dharma” adalah merupakan ajaran tentang tujuan hidup umat manusia. Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi “Catur Purusa Artha” atau sering juga disebut dengan istilah “Catur Warga”. Jadi kata “Catur Purusa Artha” atau “Catur Warga” dapat diartikan; Catur berarti empat, Purusa berarti jiwa atau manusia, dan Artha berarti tujuan hidup. Catur Purusa Artha berarti empat tujuan hidup manusia yang utama. Sedangkan Catur Warga, yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan Warga berarti jalinan erat atau golongan. Catur Warga berarti empat tujuan hidup umat manusia yang utama yang terjalin erat antara yang satu dengan yang lainnya.

Demikianlah ajaran ini sudah sepatutnya untuk selalu dipedomani dalam pengabdian hidup ini. Bila kita tidak ingin mendapatkan tantangan yang lebih berat lagi, kenapa harus menunggu lebih lama lagi. Tidak ada waktu terlambat untuk belajar memulai membiasakan diri berbuat baik. Bukanlah beliau bersifat maha pemaaf, maha pemurah, maha pelindung dan maha kasih? Pahami, pedomani dan wujudkanlah dalam setiap langkah hidup kita ini dengan bagian-bagian dari ajaran Catur Purusa Artha sebagai satu kesatuan yang utuh. Yang manakah bagian-bagiannya?

  1. F.     Bagian-bagian Catur Purusa Artha

Ajaran Catur Purusa Artha merupakan modal dasar umat Hindu berupaya untuk mewujudkan tujuannya beragama. Tujuan dari pada umat beragama patut dipedomani dengan ajaran “Catur Purusa Artha”. Dengan demikian maka cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan hidup jasmani dan kebahagiaan hidup rohaninya dengan sendirinya akan tercapai. Mencapai kebahagiaan jasmani atau kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat (kebahagiaan yang kekal) hendaknya dijadikan komitmen dalam hidup ini. Tujuan ini disebut dengan “Moksa Artha jagadhita ya ca iti dharma”. Ajaran tentang Catur Purusa Artha adalah merupakan ajaran yang bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman. Banyak inteprestasi tentang ajaran tersebut akan ditemukan namun hakekat ajarannya akan tetap sama. Apakah yang dimaksud dengan Catur Purusa Artha?

Di dalam Kitab Brahma Purana mengenai Catur Purusa Artha ada disebutkan sebagai berikut :

“Dharmartha kama moksaran sariram-sadhanam” (Brahman Purana 228,45).

Artinya :

Tubuh adalah alat (untuk mendapat) Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

Selanjutnya dalam kitab Astha Dasa Parwa pada bagian Udyoga Parwa kita temukan ajaran yang berkaitan dengan hakekat dharma, sebagai berikut :

“Ikang dharma ngaranya, hetuning mara ring swarga ika, kadi gatining perahu, an hetuning banyaga nertasing tasik (Udyoga Parwa).

Artinya :

Yang disebut Dharma, adalah merupakan jalan untuk pergi ke surge, sebagai halnya perahu, sesungguhnya adalah merupakan alat bagi pedagang dalam mengarungi lautan.

Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa manusia harus menyadari apa yang menjadi tujuan hidupnya. Apa yang harus dicarinya dengan badan yang dimilikinya. Semuanya itu tak lain adalah sebagai pengalaman dari ajaran dharma sebagai salah satu bagian dari ajaran Catur Purusa Artha. Yang manakah bagian-bagian dari ajaran catur Purusa Artha itu?

Sesuai dengan beberapa penjelasan tersebut diatas yang termasuk bagian-bagian dari Catur Purusa Artha antara lain :

  1. Dharma
  2. Artha.
  3. Kama.
  4. Moksa

Penjelasan lebih lanjut tentang bagian-bagian ajaran catur Purusa Artha, secara singkat dapat diikuti pada uraian hubungan Catur Asrama dengan Catur Purusa Artha sebagaimana terurai berikutnya setelah uraian singkat darihubungan catur Warna dengan Catur Asrama

BAB III

PENUTUP

3.1       Kesimpulan

Kesimpulan yang bisa kami rangkum adalah:

  1. Susila berasal dari kata “su” dan “sila”. Su adalah awalan yang berarti amat baik, atau sangat baik, mulia, dan indah. Sedangkan kata sila berarti tingkah laku atau kelakuan. Susila adalah tingkah laku atau kelakuan yang baik atau mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia.
  2. Beberapa ajaran Agama Hindu yang berhubungan dengan susila adalah . Susila Sad Atatayi, Etika, Triguna dan dasa mala ,Catur Warna , Catur Asrama Dan Catur Purusartha.
  3. Contoh-contoh beberapa perbuatan susila adalah memberikan sedekah, memberi pelajaran dan nasihat-nasihat kepada orang-orang miskin, memberikan pertolongan kepada orang lain, melaksanakan ajaran Tri Kaya Parisudha.

3.2       Saran-saran

Saran yang dapat kami berikan adalah dalam kehidupan sehari-hari kita sangat perlu melaksanakan susila itu, dengan melaksanakan ajaran susila akan dapat memberikan manfaat yang bagus dikehidupan kita. Pahami dan laksanakan ajaran susila tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Genetri Untuk Siswa Sma / Smk Kls X Semester 1

Genetri Untuk Siswa Sma / Smk Kls X Semester 2

Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu  Sms/Smk Kls Xi Semester 1 Provinsi Bali

Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu  Sms/Smk Kls X Semester 1 Provinsi Bali

Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu  Sms/Smk Kls X Semester 2 Provinsi Bali

Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu  Sms/Smk Kls Xi Semester 2 Provinsi Bali

Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu  Sms/Smk Kls X Smt 2 Kabupaten Buleleng

Lembar Kerja Siswa Pendidikan Agama Hindu  Sms/Smk Kls X Smt 1 Kabupaten Buleleng

Ayounajuz.Blogspot.Com/2009/06/Susila.Html

 

Belajaragamahindu.Wordpress.Com/…/Akibat-TriGuna-Dan-Dasa-Mala/